Kamis, 23 Juni 2011

KONSEP "TALAM" DALAM PROGRAM ACARA TELEVISI

MENGUPAS ACARA TELEVISI DARI SISI LOGIKA DAN MORALITAS

Oleh: Bambang Sudiono
sdnbambang@yahoo.com

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof.Dr. Moestopo(Beragama), Jakarta

Pendahuluan
Stasiun televisi di Indonesia secara resmi mulai mengudara pada tanggal 24 Agustus 1962 oleh TVRI bersamaan dengan penyelenhgaraaan Asian Games IV di Jakarta. Tanggal 24 Agustus kemudian di-jadikan hari lahir TVRI (Televisi di Indonesia:34). Tentu saja siaran TVRI lebih cenderung menyuarakan suara pemerintah, sampai rutuhnya orde baru dan munculnya orde reformasi, 1998.

Selama 27 tahun, penduduk Indonesia hanya bisa menyaksikan satu saluran saja yaitu TVRI. Namun pada tahun 1989, pemerintah akhirnya mengizinkan RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, meski hanya penduduk yang mempunyai
antena parabola dan dekoder yang dapat menyaksikan RCTI. Pada 21 Maret 1992 di Bandung, RCTI akhirnya dibuka untuk masyarakat.

Setelah RCTI, maka muncullah televisi –televisi swasta sperti ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, TPI yang kemudian berubah bentuk menjadi MNCTV, SCTV, Trans TV, TV 7 yang berubah bentuk menjadi Trans7, La Tivi yang berubah menjadi TVOne. Belum lagi televisi-telivisi lokal yang berada di daerah-daerah, di luar TVRI daerah. Dalam hubungan ini dapatlah dikatakan bahwa RCTI merupakan pelopor televisi swasta di tanah air.

Kemudian muncul program yang beraneka ragam. Masyarakat seperti terlepas dari belenggu kemonotonan yang selama ini disuguhi progam-program acara hanya dari satu stasiun televisi penyiaan saja.

Ada semacam benturan budaya ketika masyarakat menyaksikan siaran-siara televisi swasta yang beaneka ragaam, dan diluar dari yang mereka bayangkan.


Sistem Penyiaran
Jika dikaji dari sistem penyiaran yang dianut oleh stasiun-stasiun televisi, sebagian besar televisi swasta yang mncul di tanah air merupakan stasiun televisi yang bersifat komersil.
Stasiun televisi komersil dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
-Pemiliknya adalah pribadi-pribadi melalui perusahaan yang mereka bangun (private ownership )
-Biaya mereka dapatkan sepenuhnya melalui iklan dan sponsor (advertising&sponsorship)
-Tujuannya mencari laba dan meraih penonton sebanyak-banyaknya.
Fokus acara didominasi oleh hiburan dan informasi. Bahkan untuk tetap “menjunjung tinggi”acara hiburan, informasi pun mereka kemas menjadi “infotainment”.

Jika kita menengok kebelakang dan mengacu kepada pakar komunikasi klasik seperti Harld D.Laswell, atau Charles R. Wright dan Wilbur Scham yang berbicara tentang fungsi media komunikasi massa, dimana televisi termasuk didalamnya, ada ketimpangan dalam pngelolaan televisi swasta di tanah air.
Harold D.Laswell mengacu fungsi media massa sebagai fungsi pengamat lingkungan dan pendidikan. Charles R. Wrght menngacu kepada fungsi hiburan dan Wilbur Schram mengacu pada fungsi informasi.

Dari ketiga pendapat pakar komunikasi tersebut, maka fungsi televisi, sebagai bagian dari media komunikasi massa, adalah sebagai sarana pendidikan, sarana informasi dan sarana hiburan.( Sasa Djuarsa Sanjaya.1999:34)

Disinilah muncul dilema yang dihadapi oleh stasiun televisi swasta. Disatu pihak, tetntu saja mereka ingin menayangkan program acara yang bersifat mendidik, menghibur dan informatif. Di pihak lain mereka telah menanam modal yang sedemikian besar, dan modal itu harus kembali. Dan dalam persepsi mereka, berdasarkan “rating” yang dibuat oleh lembaga rating, acara-acara yang bersifat hiburan jumlah penontonnya jauh lebih besar dari acara-acara yang bersifat mendidik ataupun inrformasi. Dengan besarnya penonton, diharapkan pemasang iklan semakin banyak pada acara tersebut. Itu adalah asumsi-asumsi yang harus lebih dalam di kaji kebenarannya.

Asumsi itu, tampaknya tak perlu di kaji oleh stasiun televisi. Ini terlihat dari makin mendominasinya acara-acara hiburan yang bahkan sudah melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat yang tentunya dapat memunculkan masalah baru bagi penonton televisi.
Siaran televisi swasta cenderung melihat siaran televisi semata-mata sebagai sarana hiburan, terlepa apakah hiburan itu itu dapat di diterima oleh masyarakat atau tidak.

Konsep “TALAM” Dalam Poduksi Acara Televisi
TALAM sebenanya singkatan dari Teknik, Artistik, Logika Aestetika dan Moral.
Dalam memproduksi sebuah acara televisi, sepatutnya pengelola televisi harus mengacu pada nilai-nilai terebut. Mari kita mencoba mengupas satu persatu dari konsep TALAM yang dapat dikatakan sebagai pedoman dari pembuatan poduksi acara televisi:


Teknik
-Sebagian besar program tayangan televisi dapat dikatakan sudah memenuhi unsur-unsur ini, terutama jika bicara dari segi teknik pembuatannya.
Artistik
-Segi artistik belum banyak tekevisi swasta yang melakukannya. Sebagai contoh, sebagian besar acara tayangan televisi masih mengandalkan terang dan kontras. Yang penting gambarnya terang dan jelas, sudah cukup. Pehamaman tentang artistik masih masih belum memadai.
Logika
-Inilah bagian yang cukup memprihatinkan, terutama untuk acara sinetron dan acara lain yang bersifat drama. Contoh sederhana, acara sinetron sangat sering menampilkan rumah-rumah yang sangat mewah. Penghuninya, pagi, siang, sore dan malam hari selalu memakai dasi dan sang nyonya setiap hari berpakain seperti ingin menghadiri acara undangan pernikahan. Dan yang tidak logis juga, jika makan di rumah juga selalu memakai dasi. Ada pula seorang direktur muda yang memakai anting dengan rambut model RinTn-tin.
Aestetika
-Aestetika sering disamakan denghan artistik. Padahal aestetika lebih dari sekedar artistik. Ia lebih menjurus kepada keindahan tanpa mengabaikan unsur kepantasan.
Program-program acara televisi sangat mengabaikan unsur ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam, antara lain keidak mengertian tentang art eastetika itu sendiri.
Moral
-Inilah bagian yang paling “crusial” dari acara-acara yang sering di tayangkan oleh televisi swasta, terutama untuk acara sinetron dan hiburan lainnya, Maury Green (2001:27)
Surat-surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama inipun lebih banyak menyangkut tentang moral ini. KPI tidak pernah memberi teguran ataupun sanksi kepada siaran televisi apabila nmenyangkut hal-hal yang berhubungan dengan teknik, artistik, logika maupun aetetika, karena ke empat unsu ini tidak berdampak langsung kepada sikap dan perilaku penonton.

Fenomena Sinetron
Sinema elektronik atau lebih populer dengan akronim sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela.
Menurut almarhum Teguh Karya, sutradara terkenal dengan film-filmnya yang selalu memenuhim unsur TALAM, istilah sinema elektronik atau sinetron yang sekarang digunakan secara luas di Indonesia, pertama kali di cetuskan oleh tokoh perfilman nasional almarhum Soemardjono, salah satu pendiri pengajar Institut Kesenian Jakarta.

Jalan cerita
Sinetron biasanya bercertia tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik berkepanjangan dan tidak logis. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin tajam sehingga sampai pada titik klimaksnya.
Tujuan komersil
Dibuatnya sinetron menjadi bepuluh-puluh epsisode, kebanyakan karena tujuan komersil semata-mata, hingga dapat menurunkan kualitas cerita, yang akhirnya sinetron tidak lagi mendidik.
Sebagai contoh, sinetron terpanjang adalah Tersanjung garapan Multi Plus yang sudah mencapai 356 episode dengan masa tayang 6 tahun 11 bulan.
Selain Tersanjung adalah Cinta Fitri yang sampai sekarang masih tayang, sejak mulai ditayangkan awal tahun lalu.

Pada umumnya sintreon bercerita tentang seputar kehidupan remaja dengan intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh kekerasan dan tema yang akhir-akhir ini banyak digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.

Sebenarnnya sudah banyak pengaduan masyarakat melalui KPI tentangan tayangan yang dianggap tidak layang untuki ditonton. KPI selama 2010 juga telah memberika teguran ataupun sanksi terhadap tayangan yang dianggap melanggar pedoman penyiaran.

Beberapa hal yang sering mendapat kritikan masyarakat misalnya dari segi cerita.
Cerita yang diusung oleh sinetron secara umum serupa satu sama lain. Kritikan biasanya menyangkut kreatifitas yang mandeg dari pembuat sinetron.
Kritik lain adalah tentang tema yang sering menggambarkan keluarga berada yang selalu konflik dan dilandasi oleh kebencian yang mendalam hingga berlarut-larut. Bahkan dalam beberapa sinetron, kebencian dan konflik itu mencapai puluhan tahun.
Sementara cerita yang menyangkut hal-hal yang bersifat “religius” berputar pada hal-hal yang bersifat dogmatis daripada pesan-peasn moral yang lebih mengena dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangakan sinetron tentang mistis, memuat cerita yang kental dengan unsur-unsur mistis dan mengabaikan logika penonton.

Ternyata sebagian besar sinetron maupun drama Indonesia, disadur dari sinema asing yang nilai-nilainya tentu berbeda dengan nilai dan norma yang ada di negeri ini.

Berikut daftar adaptasi sinetronn yang memiliki izin

Tabel I

Judul Saduran Judul Asli Asal Negara Rumah Produksi Stasiun Tahun Izin
Buku Harian Nayla I litre of Tears Jepang SinemArt RCTI 2006 v
Benci Jadi Cinta My Girl Korea MD Intertaiment RCTI 2006 v
Impian Cinderela Prince who Turned into into a frog Taiwan SinemArt RCTI 2006 v
Kau Masih Kekasihku At The Dolphin Bay Taiwan SinemArt SCTV 2006 v
Penyihir Cinta Magician of Love Taiwan SinemArt SCTV 2006 v
Putri Kembar Senorita Taiwan SinemArt SCTV 2007 v
Mutiara Popcorn Romance (manga) Jepang SinemArt RCTI 2007 V
Cinta Fitri Pure in Heart Chika Korea/Hongkong MD Intertaintment SCTV 2007 v
Marsya Kassandra Venezuela SinemArt RCTI 2008 v
Cinta Nia 9 End 2 Outs Korea MD Intertainment SCTV 2009 v
Dimana Melani? Donde Esta Elisa? Chili MD Intertainment SCTV 2010

Sumber Wikipedia

Langkah Apa Yang Dilakukan KPI
Komisi Penyiara Indonesia (KPI) merupakan lembaga independen yang kedudukannya setara dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan siaran di Indonesia. KPI berdiri sebagai amanat dari Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI sebatas menyangkut regulator, memberikan teguran dan imbauan dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindak penyelenggara siaran sampai ke pengadilan, hingga teguran dan imbauan terebut sering kali diabaikan oleh penyelenggara siaran.

Selama 2010 KPI telah beberapa kali melakukan teguraan dan himbauan terhadap penyelenggara siaran menyangkut konten yang dianggap melanggar pedoman siaran.

Berikut sebagian dari rekapitulasi teguran dan himbauan oleh KPI selama kurun waktu 2010.

Tabel II
Program Deskripsi Pelanggaran
Avatar Menayangkan adegan ciuman seorang kartun laki-laki dan kartun perempuan secara vvulgar
FTV episode “Raja dan Merpati Ajaib” Memuat adegan kekerasan secara berlebihan dan disiarkan pada jam tayang yang tidak sesuai
SinemaSiang”Ketika Willa Patah Hati” Menayangkan adegan sepasang mahasiswa berpelukan dan saling mencium pipi ditempat pendidikan (kampus)
SinetronKisahFantasi
Episode “Ken Arok dan Ken Dedes” Menayangkan adegan orang terbunuh dengan golok dan edegan keris menancap di perut yang ditampilkan secara close up serta jam tayang yang tidak sesuai.
Orang Ketiga Menampilkan muatan kekerasan , banyak menampilkan kata-kata kasar dan makian, menampilkan adegan dan kata-kata yang mengarah hubungan seks.
Mariam Mikrolet Adanya adegan yang tidak mencerminkan suatu penghormatan terhadap keanekaragaman agama dalam masyarakat Indonesia.
Program bioskop Indonesia Sexy and the Siti Menayangkan materi dewasa di luar jam tayang dewasa.
Bukan Empat Mata Adegan seorang presenter (host) yang meminum wine sambil membaca Basmallah
Bedah Rumah Seorang presenter (host) yang mengucapkan kata-kata sakinah, mawardah, warohmah “haram jadah”
John Pantau Penayangan benda tertentu yang menjadi simbol seks
Super Family Terdapat adegan tarian Julia Perez dan Trio Macan yang tidak pantas dilakukan pada jam tayang untuk anak-anak dan remaja
Uya Emang Kuya Dua pasang remaja yang dihipnotis (tidak sadar) menceritakan percakapan yang menggambarkan rangkaian rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks
Sexophone (Sex Solution On The Microphone) Memuat siaran mengenai pembenaran terhadap hubungan seks di luar nikah, hubungan seks secara vulgar, percakapan yang menggambarkan rangkaian akrtifitas ke arah hubungan seks
Hip Hip Hura Mengeskploitasi bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap dapat membangkitkan birahi pada saat menyanyikan lagu berjudul “Keong Racun”
Sumber KPI

Audience, dalam studi-studi tentang televisi akhir-akhir ini menjadi hal yang kerap di perhitungkan, dalam sebuah pembuatan produksi acara televisi, Tony Wilson (1993:3) Seberapa jauh keluhan penonton terhadap program-program yang dianggap melanggar logika dan moralitas. Beberapa cuplikan aduan, dikutip dari web site KPI.
*Fitra Farurachman (Jawa Barat ) : Uya Memang Kuya
Acara ini merusak imagi masyarakat mengenai hipnosis. Padahal hipnosis bisa sangat bermanfaat bagi pendidikan dan kesehatan, atau banyak hal berguna lainnya. Di acara terebut, hipnosis disalah gunakan hanya menjadi tontonan murahan dengan mengorek-ngorek rahasia pribadi orang lain. Acara ittu merusak image orang-orang tersebut di hadapan ribuan bahkan ratusan ribu orang yang menonton acara itu di kota-kota yang terjangkau SCTV. Terima kasih

*Fazhur (DKI Jakarta ): “Islam KTP” Meracuni Anak-Anak
Tayangan “Islam KTP” di SCTV sangat meresahkan dan membuata geram. Hampi disertiap segmen kita temukan “ente bahlul”. Anak-anak di sekitar rumah saya sudahikut-ikutan mengumpat seperti itu. Tolong KPI bisa menegur tv nakal yang menayangkan sinetron yang tidak mendidik, bahkan bisa meracuni anak-anak kita berkata kasar. Terima kasih

*Adi AB (Lampung ): Jejak Petualang Survival Tran 7 Ajarkan Buat Racun
Acara Jejak Petualang Survival di ditayangkan 12 Januari 2011, jam 17.00 WIB di Trans 7 mengajarkan cara membuat racun untuk sumpit dan ditayangkan secara mendetail, mulai dari bahan yang digunakan sampai dengan penggunaaannya untuk membunuh binatang. Hal ini merupakan penyebaran informasi yang tidak baik dan mengajarkan sesuatu yang tidak baik pula. Mohon dapat disikapi dengan baik. Terima kasih.
Sumber KPI <:www.kpi.go.id>
Sebagaimana di lansir oleh John M. Lavine & Daniel B. Wackman (2000-9) bahwa industri media pada dasarnya tidak berbeda dengan industri pada umumnya yang menghasilkan produk, tentu saja siaran televisi harus menghasilkan produk berupa program-progtam siaran yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat, bukan produk yang justru membingungkan dan merusak masyarakat.






Daftar Pustaka:

Sanjaya, Sasa Djuarsa, 1999, Penganar llmu Komunikasi, UT, Jakarta.
Wilson, Tony, Watching Television, 1993, Watching Television, Politiy Press, UK
Green, Maury, Television Handbook, 2001, Wadsworth Puiblishing, Inc, USA
Lavine, John M, Managing Media Organization, 2000, Longman, USA
Televisi, Direktorat, Televisi di Indonesia- TVRI, 1972, Dirtektorat Televisi
Undang-undang Republik Indonesia No. 32, 2002, Tentang Penyiaran

web site : www.kpi.go.id
www.wikipedia. com

HIPNO-KOMUNIKASI

Melakukan komunikasi dengan pendekatan berbasis hipnosis

Oleh: Bambang Sudiono

Abstract: Communication, not just a word. Its a tool to bring human being to the new world which place more understanding, peace and prosperity. Communication base hypnosis by Neuro-Linguistic Programming, one of tools to open our mind, to reach goal setting and to change mind set.

Keyword : Mind set, goal setting, change.

A. Globalisasi komunikasi massa.
Di era globalissi komunikasi dikuasi oleh komunikasi massa melalui media, sehingga individu kehilangan perannya. Komunikasi antar pribadi menjadi kehilangan arti. Yang muncul kemudian adalah munculnya gerakan-gerakan spiritual yang memberi arti lebih kepada hidupan pribadi atau individu, terlepas mereka beragama atau tidak. Munculnya “orang-orang suci” yang memberikan pencerahan kepada individu-individu merupakan isyarat, betapa banyaknya individu yang tidak mampu berkomunikasi secara konvensional, yaitu komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. ( Sasa Djuarsa Sendjaja 1999 : 7)
Menurut Carl Hovland, ilmu komunikasi sendiri adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap, juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Media massa dengan demikian memainkan peranan sangat dominan dalam kehidupan sosial dan plotitik. Individu kehilangan dirinya. Sikap mereka ditentukan oleh media. Pemikiran mereka dikonstruksi oleh media. Komunikasi mereka dengan orang lain menjadi macet. Gagasan maupun ide-ide yang muncul dari masing-masing indidividu ditelan oleh gagasan media yang menglobal.
Komunikasi antar pribadi yang mejadikan bahasa lisan sebagai alat yang utama untuk menyampaikan pesan-pesan, mulai di lirik oleh individu yang membutuhkan pencarahan dengan teknik yang lebih spesifik. Berkomunikasi dengan orang lain dibutuhkan alat-alat lain dan bahkan merambah ke psikologi, agar pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima oleh komunikan dan mengubah perilaku mereka seperti apa yang di inginkan oleh komunikator.
Akinson dkk (1999 : 82) dalam Pengantar Psikologi menjelaskan pentingnya kata-kata secara rinci dengan pendekatan psikologi, “jika suatu kata yang diucapkan oleh orang lain ingin dimengerti, ia harus ditransmisikan dari area auditorik ke area visual, dimana bentuk lain dari kata disesuaikan dengan kode auditoriknya yang selanjutnya mengaktifasi makna kata tsb.”
Dari pandangan Akinson ini, komunikasi verbal memiliki peranan penting dalam komunikasi antar individu, dalam suasana global saat ini, dimana setiap pola pikir dan perilaku manusia dikonstruksikan oleh media yang sering kali bias.
Sesungguhnya untuk menjadi seseorang yang mampu melakukan komunikasi dengan sangat efektif terhadap orang lain, tidak perlu harus menjadi figur kharismatik. Beberapa teori dan metode yang menggabungkankan ilmu komunikasi dan psikologi serta diikuti dengan latihan-latihan akan membantu seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain dan mampu memgubah pendapat dan perilaku mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki sang komunikator.
Dalam kaitan ini kemampuan seseorang untuk menyampaikan gagasan, ide atau sugesti kepada orang menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan. Kesalahan tafsir terhadap apa yang disampaikan oleh seorang komunikator akan berakibat buruk bagi seorang komunikan, karena dia mempersepsikan seuatu yang berbeda dari apa yang di kehendaki oleh seorang komunikator.
Dalam konteks ini, gaya bahasa mernjadi satu hal yang harus diperhatikan dengan sunguh-sungguh. Gorys Keraf (2009 : 113) merumuskan gaya bahasa ini dengan sangat jelas bahwa gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi siatuasi tertentu pula.
Persoalan gaya bahasa memang meliputi semua hierarki kebahasaan. Nada yang tersirat di balik sebuah wawancara termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti terdapat dalam retorika-retorika klasik. Gaya bahasa juga mencakup dalam hipno-komunikasi yang akan di bahasas penulis dalam tulisan ini lebih lanjut.
Bahkan Keraf (2009 : 115) secara rinci mengurai tentang kata-kata, yang bukan saja menunjukan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefeleksikan juga tingkah laku sosial dari orang-orang yang mempergunakannya. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai tutur mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup tinggi dalam masyarakat. Sedangkan bahasa nonstandard adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Dan bahasa demikian di pakai untuk pergaulan biasa, tidak di pakai dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Bagi individu yang berpendidikan standard, gaya bahasa yang jelas dan mudah dipahami merupakan fakator yang paling penting. Komunikasi dengan kata-kata atau komunikasi lisan bagi Djoenasih & Rajiyem (2005 : 24) berarti menyampaikan pesan atau informasi melalui mulut langsung dan di dukung oleh gerak isyarat atau tanda-tanda atau simbol-simbol ntertentu yang sudah dipahami secara umum.
Elemen-elemen yang berpengaruh pada proses komunikasi lisan adalah source, message, channel, receiver, feedback, barriers dan situation.


Situation

Barriers



Source message channel receiver feedback



Feedback





Sumber : Bert E. Bradley, 1981 : 7




B. Hipnosis
Hipnosis adalah suatu fernomena yang menarik dan sering kali merpertunjukan kemampuan seseorang untuk mengendalikkan orang lain. Yan Nurindra dalam situsnya www.YanNurindra.com menyebutkan bahwa hypnosis merupakan seni untuk memahami manusia. Hipnosis saat ini adalah gejala yang sudah dapat dijelaskan mekanismenya melalui metode ilmu pengetahuan.
Istilah hipnosis diperkenalkan oleh DR. James Braid pada tahun 1842, dengana mengacu kepada disiplin ilmu “neuropnology”. Hipnosis yang dikembangkan oleh Dr. James Braid, kemudian diteruskan oleh Prof. Jean Martin Charcot dan Dr. Ivan Parlov, sampai akhirnya kepada psikolog sangat terkenal Sigmund Freud (1856-1939). Pada masa itu hipsosis masih belum di akui sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sifatnnya masih Conventional Hypnotism.
Baru setelah dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Milton Erickson (1901-1980), Dave Elman (1900-1967) dan kawan-kawan hipnosis masuk kedalam wilayah ilmu pengetahuan dengan istilah Modern Hypnotism dan pada tahun 1958 Pemerintah Amerika Serikat Mengakui Metode Hipnosis sebagai bagian dari ilmu pengetahuan untuk berbagai hal termasuk dalam berkomunikasi.
Kihlstrom (1984 : 385-386) mendefinsikan hipnosis sebagai interaksi sosial dalam berkomunikasi dimana seseorang (dinamakan subyek/komunikan) berespon terhadap sugesti yang diberikan oleh orang lain (dinamakan ahli hipnotis/komunikator) untuk pengalaman yang melibatkan persepsi memori dan tindakan volunter.
Komunikator dalam, hal ini ahli hipnotis berusaha menyamakan persepsi dengan subyek, bukan sebaliknya. Seorang ahli hipnotis harus terus berusaha melakukan latihan-latihan komunikasi agar proses komunikasi yangb berlangsung antara dia dengan subyek dapat berjalan dengan maksimal atau biasa dikenal dengan hypnotisability atau kemampuan untuk memasuki hypnosis state.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam melakukan hipnosis, sebagaimana yang biasa terjadi dalam proses komunikasi pada umumnya.
1. Bersedia secara suka rela.
Kesediaan komunikan sangat penting dalam proses ini.
2. Memahami komunikasi.
Komunikan harus dapat memahami maksud dan tujuan dari komunikator.
3. Memiliki kemampuan fokus.
Komunikan tidak dalam kondisi stress berat, atau kehilangan kemampuan fokus, misal karena narkoba atau sedang mabuk karena minum minuman keras.

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale berdasakan penelitian yang dilakukan 1983 di Amerika Serikat telah membuat skala tentang komunikas atau subyek mulai dari yang sulit sampai yang memudah untuk menerima sugesti sbb:
a. Sulit > 5 %
b. Moderat > 85 %
c. Mudah > 10 %
Sumber : www.YanNurindra.com


Secara teknis dapat dijelaskan bahwa masuknya pesan-pesan kedalam diri seseorang akan lebih mudah dilakukan apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan hipnosis. Dalam keadaan demikian, critical area yang sering menghalangi maksuknya pesan-pesan dan informasi kepada komunikan dalam keadaan menyempit. Artinya pesan-pesan itu dengan mudah masuk kedalam pikiran subyek terutama ke alam bawah sadar (sub-conscious)
Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut/


CONSCIUOS

Pesan

Critical Area



SUB-CONSCIOUS


C. Komunikasi
Membahas komunikasi dalam hubungannya dengan hipnosis merujuk kepada Rogger (1966 : 102), comunication is a proccess in which participant and share information with an another to reach a mutual understanding. Pada dasarnya proses komunikasi memang harus melibatkan seluruh panca indera untuk menyamakan persepsi antara komunikator dengan komunikan yang menjadi sasaran, dengan menambahkan sugesti di dalam pesan-pesan itu.
Bahkan Oslon & Zannu ( 1993 :35 ) menyatakan, salah bentuk komunikasi yang baik adalah persuasi. Persuasi di prediksi sebagai perubahan sikap akibat paparaan informasi dari orang lain. Sikap pada dasarnya adalah tindakan kita terhadap sesuatu. Sikap seorang komunikator terhadap komunikan sangat berpengaruh besar terhadap diterima atau tidak diterimanya pesan-pesan yang disampaikan kepada seseorang. Jika dalam berkomunikasi, pihak penerima pesan tidak menyukai orang yang memberikan pesan, sangat besar kemungkinannya bahwa pesan itu tidak sampai kepada si penerima pesan. Contoh yang jelas dalam kasus ini, adalah pada saat seorang calon angota legislatif/caleg sedang berkampanye. Apa bila para konstituen sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap calon anggota legislatif tersebut, besar kemungkinan mereka tidak akan mememilih caleg di maksud. Contoh yang paling dekat dalam kehidupan akademis dapat dilihat antara dosen dengan para mahasiswanya. Apabila seorang mahasiswa sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap dosen yang bersangkutan dengan variabel-variabel tertentu, misalnya tidak menguasai materi kuliah dengan baik atau tidak kompeten, bicaranya terlalu cepat, tidak care dalam arti tidak menaruh perhatian kepada para mahasiswa apakah mereka mendengarkan kuliah atau tidak dan tidak membangun komunikasi yang baik, besar kemungkinan mahasiswa itu mendapat nilai rendah dalam ujian akhir.
Begitupun sebaliknya, jika sang dosen sudah mempunyai pola pikir (mind-set) buruk terhadap mahasiswanya dengan variabel-variabel tertentu seperti malas, tukang menyontek, tidak disiplin dan bahkan secara ekstrem mengatakan bodoh, sangat besar kemungkinan cara mengajar sang dosen disesuaikan dengan mind set yang ada di kepalanya. Dan sudah dapat diduga pula mahasiswa bersangkutan memperoleh nilai paling rendah pada ujian akhir. Apa yang penulis kemukakan diatas memang belum dilakukan penelitan secara empiris, namun baru berdasarkan observasi dan sifatnya masih hipotetis.
D. Hipno-komunikasi
Hipno-komunikasi sejatinya gabungan dari dua kata yaitu hipnosis dan komunikasi. Tentang hypnosis dan komunikasi sudah penulis jelaskan pada bagian-bagian awal dari tulisan ini. Dengan demikian hipno-komunikasi dapat dijelaskan dengan pengertian melakukan komunikasi dengan basis hipnosis. Tujuan akhir dari hipno-komunikasi adalalah mengubah mind set, menyusun goal setting dan mengubah seseorang. seperti apa yang dikehendaki oleh komunikator maupun komunikan itu sendiri.
Elemen yang penting dari hipnosis adalah apa yang disebut dengan Neuro Linguistic Programing/NLP. Ada berbagai definisi tentang NLP antara lain,
NLP adalah strategi pembelajaran yang ditingkatkan untuk deteksi dan utilisi pola-pola di dalam dunia (John Grinder)
NLP adalah apa saja yang bisa berfungsi dan memberi hasil (Robert Dihl)
Yang paling tepat dalam konteks tulisan ini adalah definisi yang menyebutkan bahwa NLP adalah studi sistematik tentang komunikasi manusia (Alex von Ohde). Phillip Hayes & Jenny Rogers (2006 : 31)
Istilah aktual Neuro-Linguistic Programing mengacu pada tiga bidang studi utama.
1. Neurology: tentang otak dan bagaimana kita berpikir.
2. Linguistic: tentang bagaimana kita menggunakan bahasa dan bagaimana dampaknya terhadap kita.
3. Programming : tentang bagaimana kita mnengurutkan tindakan-tindakan.
Hipno-komunikasi hampir sering dilakukan dengan memberi muatan-muatan NLP didalamnya. Bila di ibaratkan dengan senjata, hipnosis adalah senjatanya sedangkan NLP adalah pelurunya.
NLP berasal dari California, Amerika Serikat dan muncul pada tahun 1970. Penggagas pertamanya adalah pakar matematik Richard Bandler dan profesor linguistik John Grinder. Pada mulanya, mereka mengamati communication skill yang digunakan sekelompok terapis terpilih yang sangat sukses. Mereka ingin tahu dan menetapkan secara spesifik bagaimana para terapis itu mencapai sukses membantu klien untuk melakukan perubahan positif didalam hidup. Keduanya, bersama sekelompok kolega dan mahasiswa, mencoba membentuk model eksplisit tentang bagaimana bagusnya seorang komunikator bisa mencapai hasil. Roggers (2006 : 34).
Berkomunikasi dengan basis hipnosis/NLP berpedoman bahwa “realita” bukanlah kontruksi yang obyektif. Realitas adalah sesuatu yang dikontruksi manusia secara individual dari persepsi dan pemikiran mereka sendiri.
Hipno-komunikasi didalam upaya untuk memngkomunikasikan ide-ide dan gagasan menjadi lebih tepat sasaran serta berupaya mengkonstruksikan manusia menjadi lebih bermakna, baru sebatas hipotetis. Masih diperlukan langkah-langkah lebih lanjut yang bersifat ilmiah.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip Albert Einstein sebagai berikut:
“Berapa banyak orang terperangkap di dalam kebiasaan sehari-hari; sebagian mati rasa, sebagian ketakutan, sebagian tak bisa berbeda. Untuk bisa mendapatkan kehidupan lebih baik, kita harus terus memilih bagaimana kita hidup”


Daftar Pustaka:.
Atkinson, 1999,Pengantar Psikologi, Interdisain, Jakarta.
Rogers, Jenny , 2006, NLP, Quantum Change, Baca!, Yogyakarta.
Sandjaja, Sasa Djuarsa, 1999, Pengantar Ilmu Komunikasi, UT, Jakarta.
Keraf, Gorys, 2009, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Goleman, Daniel, 1999, Emotional Intellegence, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta
Soehardjo, Djoenarsih, 2005, Publik Speaking, UT, Jakarta.

Website:m: http://www.YanNurindra.com
http://www.quantumchange.com

HIPNO-KOMUNIKASI

HIPNO-KOMUNIKASI
Melakukan komunikasi dengan pendekatan berbasis hipnosis

Bambang Sudiono



Abstract: Communication, not just a word. Its a tool to bring human being to the new world which place more understanding, peace and prosperity. Communication base hypnosis by Neuro-Linguistic Programming, one of tools to open our mind, to reach goal setting and to change mind set.


Keyword : Mind set, goal setting, change.

A. Globalisasi komunikasi massa.
Di era globalissi komunikasi dikuasi oleh komunikasi massa melalui media, sehingga individu kehilangan perannya. Komunikasi antar pribadi menjadi kehilangan arti. Yang muncul kemudian adalah munculnya gerakan-gerakan spiritual yang memberi arti lebih kepada hidupan pribadi atau individu, terlepas mereka beragama atau tidak. Munculnya “orang-orang suci” yang memberikan pencerahan kepada individu-individu merupakan isyarat, betapa banyaknya individu yang tidak mampu berkomunikasi secara konvensional, yaitu komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. ( Sasa Djuarsa Sendjaja 1999 : 7)
Menurut Carl Hovland, ilmu komunikasi sendiri adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap, juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Media massa dengan demikian memainkan peranan sangat dominan dalam kehidupan sosial dan plotitik. Individu kehilangan dirinya. Sikap mereka ditentukan oleh media. Pemikiran mereka dikonstruksi oleh media. Komunikasi mereka dengan orang lain menjadi macet. Gagasan maupun ide-ide yang muncul dari masing-masing indidividu ditelan oleh gagasan media yang menglobal.
Komunikasi antar pribadi yang mejadikan bahasa lisan sebagai alat yang utama untuk menyampaikan pesan-pesan, mulai di lirik oleh individu yang membutuhkan pencarahan dengan teknik yang lebih spesifik. Berkomunikasi dengan orang lain dibutuhkan alat-alat lain dan bahkan merambah ke psikologi, agar pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima oleh komunikan dan mengubah perilaku mereka seperti apa yang di inginkan oleh komunikator.
Akinson dkk (1999 : 82) dalam Pengantar Psikologi menjelaskan pentingnya kata-kata secara rinci dengan pendekatan psikologi, “jika suatu kata yang diucapkan oleh orang lain ingin dimengerti, ia harus ditransmisikan dari area auditorik ke area visual, dimana bentuk lain dari kata disesuaikan dengan kode auditoriknya yang selanjutnya mengaktifasi makna kata tsb.”
Dari pandangan Akinson ini, komunikasi verbal memiliki peranan penting dalam komunikasi antar individu, dalam suasana global saat ini, dimana setiap pola pikir dan perilaku manusia dikonstruksikan oleh media yang sering kali bias.
Sesungguhnya untuk menjadi seseorang yang mampu melakukan komunikasi dengan sangat efektif terhadap orang lain, tidak perlu harus menjadi figur kharismatik. Beberapa teori dan metode yang menggabungkankan ilmu komunikasi dan psikologi serta diikuti dengan latihan-latihan akan membantu seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain dan mampu memgubah pendapat dan perilaku mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki sang komunikator.
Dalam kaitan ini kemampuan seseorang untuk menyampaikan gagasan, ide atau sugesti kepada orang menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan. Kesalahan tafsir terhadap apa yang disampaikan oleh seorang komunikator akan berakibat buruk bagi seorang komunikan, karena dia mempersepsikan seuatu yang berbeda dari apa yang di kehendaki oleh seorang komunikator.
Dalam konteks ini, gaya bahasa mernjadi satu hal yang harus diperhatikan dengan sunguh-sungguh. Gorys Keraf (2009 : 113) merumuskan gaya bahasa ini dengan sangat jelas bahwa gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi siatuasi tertentu pula.
Persoalan gaya bahasa memang meliputi semua hierarki kebahasaan. Nada yang tersirat di balik sebuah wawancara termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti terdapat dalam retorika-retorika klasik. Gaya bahasa juga mencakup dalam hipno-komunikasi yang akan di bahasas penulis dalam tulisan ini lebih lanjut.
Bahkan Keraf (2009 : 115) secara rinci mengurai tentang kata-kata, yang bukan saja menunjukan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefeleksikan juga tingkah laku sosial dari orang-orang yang mempergunakannya. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai tutur mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup tinggi dalam masyarakat. Sedangkan bahasa nonstandard adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Dan bahasa demikian di pakai untuk pergaulan biasa, tidak di pakai dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Bagi individu yang berpendidikan standard, gaya bahasa yang jelas dan mudah dipahami merupakan fakator yang paling penting. Komunikasi dengan kata-kata atau komunikasi lisan bagi Djoenasih & Rajiyem (2005 : 24) berarti menyampaikan pesan atau informasi melalui mulut langsung dan di dukung oleh gerak isyarat atau tanda-tanda atau simbol-simbol ntertentu yang sudah dipahami secara umum.
Elemen-elemen yang berpengaruh pada proses komunikasi lisan adalah source, message, channel, receiver, feedback, barriers dan situation.


Situation

Barriers



Source message channel receiver feedback



Feedback





Sumber : Bert E. Bradley, 1981 : 7




B. Hipnosis
Hipnosis adalah suatu fernomena yang menarik dan sering kali merpertunjukan kemampuan seseorang untuk mengendalikkan orang lain. Yan Nurindra dalam situsnya www.YanNurindra.com menyebutkan bahwa hypnosis merupakan seni untuk memahami manusia. Hipnosis saat ini adalah gejala yang sudah dapat dijelaskan mekanismenya melalui metode ilmu pengetahuan.
Istilah hipnosis diperkenalkan oleh DR. James Braid pada tahun 1842, dengana mengacu kepada disiplin ilmu “neuropnology”. Hipnosis yang dikembangkan oleh Dr. James Braid, kemudian diteruskan oleh Prof. Jean Martin Charcot dan Dr. Ivan Parlov, sampai akhirnya kepada psikolog sangat terkenal Sigmund Freud (1856-1939). Pada masa itu hipsosis masih belum di akui sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sifatnnya masih Conventional Hypnotism.
Baru setelah dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Milton Erickson (1901-1980), Dave Elman (1900-1967) dan kawan-kawan hipnosis masuk kedalam wilayah ilmu pengetahuan dengan istilah Modern Hypnotism dan pada tahun 1958 Pemerintah Amerika Serikat Mengakui Metode Hipnosis sebagai bagian dari ilmu pengetahuan untuk berbagai hal termasuk dalam berkomunikasi.
Kihlstrom (1984 : 385-386) mendefinsikan hipnosis sebagai interaksi sosial dalam berkomunikasi dimana seseorang (dinamakan subyek/komunikan) berespon terhadap sugesti yang diberikan oleh orang lain (dinamakan ahli hipnotis/komunikator) untuk pengalaman yang melibatkan persepsi memori dan tindakan volunter.
Komunikator dalam, hal ini ahli hipnotis berusaha menyamakan persepsi dengan subyek, bukan sebaliknya. Seorang ahli hipnotis harus terus berusaha melakukan latihan-latihan komunikasi agar proses komunikasi yangb berlangsung antara dia dengan subyek dapat berjalan dengan maksimal atau biasa dikenal dengan hypnotisability atau kemampuan untuk memasuki hypnosis state.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam melakukan hipnosis, sebagaimana yang biasa terjadi dalam proses komunikasi pada umumnya.
1. Bersedia secara suka rela.
Kesediaan komunikan sangat penting dalam proses ini.
2. Memahami komunikasi.
Komunikan harus dapat memahami maksud dan tujuan dari komunikator.
3. Memiliki kemampuan fokus.
Komunikan tidak dalam kondisi stress berat, atau kehilangan kemampuan fokus, misal karena narkoba atau sedang mabuk karena minum minuman keras.

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale berdasakan penelitian yang dilakukan 1983 di Amerika Serikat telah membuat skala tentang komunikas atau subyek mulai dari yang sulit sampai yang memudah untuk menerima sugesti sbb:
a. Sulit > 5 %
b. Moderat > 85 %
c. Mudah > 10 %
Sumber : www.YanNurindra.com


Secara teknis dapat dijelaskan bahwa masuknya pesan-pesan kedalam diri seseorang akan lebih mudah dilakukan apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan hipnosis. Dalam keadaan demikian, critical area yang sering menghalangi maksuknya pesan-pesan dan informasi kepada komunikan dalam keadaan menyempit. Artinya pesan-pesan itu dengan mudah masuk kedalam pikiran subyek terutama ke alam bawah sadar (sub-conscious)
Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut/


CONSCIUOS

Pesan

Critical Area



SUB-CONSCIOUS


C. Komunikasi
Membahas komunikasi dalam hubungannya dengan hipnosis merujuk kepada Rogger (1966 : 102), comunication is a proccess in which participant and share information with an another to reach a mutual understanding. Pada dasarnya proses komunikasi memang harus melibatkan seluruh panca indera untuk menyamakan persepsi antara komunikator dengan komunikan yang menjadi sasaran, dengan menambahkan sugesti di dalam pesan-pesan itu.
Bahkan Oslon & Zannu ( 1993 :35 ) menyatakan, salah bentuk komunikasi yang baik adalah persuasi. Persuasi di prediksi sebagai perubahan sikap akibat paparaan informasi dari orang lain. Sikap pada dasarnya adalah tindakan kita terhadap sesuatu. Sikap seorang komunikator terhadap komunikan sangat berpengaruh besar terhadap diterima atau tidak diterimanya pesan-pesan yang disampaikan kepada seseorang. Jika dalam berkomunikasi, pihak penerima pesan tidak menyukai orang yang memberikan pesan, sangat besar kemungkinannya bahwa pesan itu tidak sampai kepada si penerima pesan. Contoh yang jelas dalam kasus ini, adalah pada saat seorang calon angota legislatif/caleg sedang berkampanye. Apa bila para konstituen sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap calon anggota legislatif tersebut, besar kemungkinan mereka tidak akan mememilih caleg di maksud. Contoh yang paling dekat dalam kehidupan akademis dapat dilihat antara dosen dengan para mahasiswanya. Apabila seorang mahasiswa sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap dosen yang bersangkutan dengan variabel-variabel tertentu, misalnya tidak menguasai materi kuliah dengan baik atau tidak kompeten, bicaranya terlalu cepat, tidak care dalam arti tidak menaruh perhatian kepada para mahasiswa apakah mereka mendengarkan kuliah atau tidak dan tidak membangun komunikasi yang baik, besar kemungkinan mahasiswa itu mendapat nilai rendah dalam ujian akhir.
Begitupun sebaliknya, jika sang dosen sudah mempunyai pola pikir (mind-set) buruk terhadap mahasiswanya dengan variabel-variabel tertentu seperti malas, tukang menyontek, tidak disiplin dan bahkan secara ekstrem mengatakan bodoh, sangat besar kemungkinan cara mengajar sang dosen disesuaikan dengan mind set yang ada di kepalanya. Dan sudah dapat diduga pula mahasiswa bersangkutan memperoleh nilai paling rendah pada ujian akhir. Apa yang penulis kemukakan diatas memang belum dilakukan penelitan secara empiris, namun baru berdasarkan observasi dan sifatnya masih hipotetis.
D. Hipno-komunikasi
Hipno-komunikasi sejatinya gabungan dari dua kata yaitu hipnosis dan komunikasi. Tentang hypnosis dan komunikasi sudah penulis jelaskan pada bagian-bagian awal dari tulisan ini. Dengan demikian hipno-komunikasi dapat dijelaskan dengan pengertian melakukan komunikasi dengan basis hipnosis. Tujuan akhir dari hipno-komunikasi adalalah mengubah mind set, menyusun goal setting dan mengubah seseorang. seperti apa yang dikehendaki oleh komunikator maupun komunikan itu sendiri.
Elemen yang penting dari hipnosis adalah apa yang disebut dengan Neuro Linguistic Programing/NLP. Ada berbagai definisi tentang NLP antara lain,
NLP adalah strategi pembelajaran yang ditingkatkan untuk deteksi dan utilisi pola-pola di dalam dunia (John Grinder)
NLP adalah apa saja yang bisa berfungsi dan memberi hasil (Robert Dihl)
Yang paling tepat dalam konteks tulisan ini adalah definisi yang menyebutkan bahwa NLP adalah studi sistematik tentang komunikasi manusia (Alex von Ohde). Phillip Hayes & Jenny Rogers (2006 : 31)
Istilah aktual Neuro-Linguistic Programing mengacu pada tiga bidang studi utama.
1. Neurology: tentang otak dan bagaimana kita berpikir.
2. Linguistic: tentang bagaimana kita menggunakan bahasa dan bagaimana dampaknya terhadap kita.
3. Programming : tentang bagaimana kita mnengurutkan tindakan-tindakan.
Hipno-komunikasi hampir sering dilakukan dengan memberi muatan-muatan NLP didalamnya. Bila di ibaratkan dengan senjata, hipnosis adalah senjatanya sedangkan NLP adalah pelurunya.
NLP berasal dari California, Amerika Serikat dan muncul pada tahun 1970. Penggagas pertamanya adalah pakar matematik Richard Bandler dan profesor linguistik John Grinder. Pada mulanya, mereka mengamati communication skill yang digunakan sekelompok terapis terpilih yang sangat sukses. Mereka ingin tahu dan menetapkan secara spesifik bagaimana para terapis itu mencapai sukses membantu klien untuk melakukan perubahan positif didalam hidup. Keduanya, bersama sekelompok kolega dan mahasiswa, mencoba membentuk model eksplisit tentang bagaimana bagusnya seorang komunikator bisa mencapai hasil. Roggers (2006 : 34).
Berkomunikasi dengan basis hipnosis/NLP berpedoman bahwa “realita” bukanlah kontruksi yang obyektif. Realitas adalah sesuatu yang dikontruksi manusia secara individual dari persepsi dan pemikiran mereka sendiri.
Hipno-komunikasi didalam upaya untuk memngkomunikasikan ide-ide dan gagasan menjadi lebih tepat sasaran serta berupaya mengkonstruksikan manusia menjadi lebih bermakna, baru sebatas hipotetis. Masih diperlukan langkah-langkah lebih lanjut yang bersifat ilmiah.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip Albert Einstein sebagai berikut:
“Berapa banyak orang terperangkap di dalam kebiasaan sehari-hari; sebagian mati rasa, sebagian ketakutan, sebagian tak bisa berbeda. Untuk bisa mendapatkan kehidupan lebih baik, kita harus terus memilih bagaimana kita hidup”


Daftar Pustaka:.
Atkinson, 1999,Pengantar Psikologi, Interdisain, Jakarta.
Rogers, Jenny , 2006, NLP, Quantum Change, Baca!, Yogyakarta.
Sandjaja, Sasa Djuarsa, 1999, Pengantar Ilmu Komunikasi, UT, Jakarta.
Keraf, Gorys, 2009, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Goleman, Daniel, 1999, Emotional Intellegence, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta
Soehardjo, Djoenarsih, 2005, Publik Speaking, UT, Jakarta.

Website:m: http://www.YanNurindra.com
http://www.quantumchange.com

HIPNO-KOMUNIKASI

HIPNO-KOMUNIKASI
Melakukan komunikasi dengan pendekatan berbasis hipnosis

Oleh: Bambang Sudiono



Abstract: Communication, not just a word. Its a tool to bring human being to the new world which place more understanding, peace and prosperity. Communication base hypnosis by Neuro-Linguistic Programming, one of tools to open our mind, to reach goal setting and to change mind set.


Keyword : Mind set, goal setting, change.

A. Globalisasi komunikasi massa.
Di era globalissi komunikasi dikuasi oleh komunikasi massa melalui media, sehingga individu kehilangan perannya. Komunikasi antar pribadi menjadi kehilangan arti. Yang muncul kemudian adalah munculnya gerakan-gerakan spiritual yang memberi arti lebih kepada hidupan pribadi atau individu, terlepas mereka beragama atau tidak. Munculnya “orang-orang suci” yang memberikan pencerahan kepada individu-individu merupakan isyarat, betapa banyaknya individu yang tidak mampu berkomunikasi secara konvensional, yaitu komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. ( Sasa Djuarsa Sendjaja 1999 : 7)
Menurut Carl Hovland, ilmu komunikasi sendiri adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap, juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Media massa dengan demikian memainkan peranan sangat dominan dalam kehidupan sosial dan plotitik. Individu kehilangan dirinya. Sikap mereka ditentukan oleh media. Pemikiran mereka dikonstruksi oleh media. Komunikasi mereka dengan orang lain menjadi macet. Gagasan maupun ide-ide yang muncul dari masing-masing indidividu ditelan oleh gagasan media yang menglobal.
Komunikasi antar pribadi yang mejadikan bahasa lisan sebagai alat yang utama untuk menyampaikan pesan-pesan, mulai di lirik oleh individu yang membutuhkan pencarahan dengan teknik yang lebih spesifik. Berkomunikasi dengan orang lain dibutuhkan alat-alat lain dan bahkan merambah ke psikologi, agar pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima oleh komunikan dan mengubah perilaku mereka seperti apa yang di inginkan oleh komunikator.
Akinson dkk (1999 : 82) dalam Pengantar Psikologi menjelaskan pentingnya kata-kata secara rinci dengan pendekatan psikologi, “jika suatu kata yang diucapkan oleh orang lain ingin dimengerti, ia harus ditransmisikan dari area auditorik ke area visual, dimana bentuk lain dari kata disesuaikan dengan kode auditoriknya yang selanjutnya mengaktifasi makna kata tsb.”
Dari pandangan Akinson ini, komunikasi verbal memiliki peranan penting dalam komunikasi antar individu, dalam suasana global saat ini, dimana setiap pola pikir dan perilaku manusia dikonstruksikan oleh media yang sering kali bias.
Sesungguhnya untuk menjadi seseorang yang mampu melakukan komunikasi dengan sangat efektif terhadap orang lain, tidak perlu harus menjadi figur kharismatik. Beberapa teori dan metode yang menggabungkankan ilmu komunikasi dan psikologi serta diikuti dengan latihan-latihan akan membantu seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain dan mampu memgubah pendapat dan perilaku mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki sang komunikator.
Dalam kaitan ini kemampuan seseorang untuk menyampaikan gagasan, ide atau sugesti kepada orang menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan. Kesalahan tafsir terhadap apa yang disampaikan oleh seorang komunikator akan berakibat buruk bagi seorang komunikan, karena dia mempersepsikan seuatu yang berbeda dari apa yang di kehendaki oleh seorang komunikator.
Dalam konteks ini, gaya bahasa mernjadi satu hal yang harus diperhatikan dengan sunguh-sungguh. Gorys Keraf (2009 : 113) merumuskan gaya bahasa ini dengan sangat jelas bahwa gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi siatuasi tertentu pula.
Persoalan gaya bahasa memang meliputi semua hierarki kebahasaan. Nada yang tersirat di balik sebuah wawancara termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti terdapat dalam retorika-retorika klasik. Gaya bahasa juga mencakup dalam hipno-komunikasi yang akan di bahasas penulis dalam tulisan ini lebih lanjut.
Bahkan Keraf (2009 : 115) secara rinci mengurai tentang kata-kata, yang bukan saja menunjukan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefeleksikan juga tingkah laku sosial dari orang-orang yang mempergunakannya. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai tutur mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup tinggi dalam masyarakat. Sedangkan bahasa nonstandard adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Dan bahasa demikian di pakai untuk pergaulan biasa, tidak di pakai dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Bagi individu yang berpendidikan standard, gaya bahasa yang jelas dan mudah dipahami merupakan fakator yang paling penting. Komunikasi dengan kata-kata atau komunikasi lisan bagi Djoenasih & Rajiyem (2005 : 24) berarti menyampaikan pesan atau informasi melalui mulut langsung dan di dukung oleh gerak isyarat atau tanda-tanda atau simbol-simbol ntertentu yang sudah dipahami secara umum.
Elemen-elemen yang berpengaruh pada proses komunikasi lisan adalah source, message, channel, receiver, feedback, barriers dan situation.


Situation

Barriers



Source message channel receiver feedback



Feedback





Sumber : Bert E. Bradley, 1981 : 7




B. Hipnosis
Hipnosis adalah suatu fernomena yang menarik dan sering kali merpertunjukan kemampuan seseorang untuk mengendalikkan orang lain. Yan Nurindra dalam situsnya www.YanNurindra.com menyebutkan bahwa hypnosis merupakan seni untuk memahami manusia. Hipnosis saat ini adalah gejala yang sudah dapat dijelaskan mekanismenya melalui metode ilmu pengetahuan.
Istilah hipnosis diperkenalkan oleh DR. James Braid pada tahun 1842, dengana mengacu kepada disiplin ilmu “neuropnology”. Hipnosis yang dikembangkan oleh Dr. James Braid, kemudian diteruskan oleh Prof. Jean Martin Charcot dan Dr. Ivan Parlov, sampai akhirnya kepada psikolog sangat terkenal Sigmund Freud (1856-1939). Pada masa itu hipsosis masih belum di akui sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sifatnnya masih Conventional Hypnotism.
Baru setelah dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Milton Erickson (1901-1980), Dave Elman (1900-1967) dan kawan-kawan hipnosis masuk kedalam wilayah ilmu pengetahuan dengan istilah Modern Hypnotism dan pada tahun 1958 Pemerintah Amerika Serikat Mengakui Metode Hipnosis sebagai bagian dari ilmu pengetahuan untuk berbagai hal termasuk dalam berkomunikasi.
Kihlstrom (1984 : 385-386) mendefinsikan hipnosis sebagai interaksi sosial dalam berkomunikasi dimana seseorang (dinamakan subyek/komunikan) berespon terhadap sugesti yang diberikan oleh orang lain (dinamakan ahli hipnotis/komunikator) untuk pengalaman yang melibatkan persepsi memori dan tindakan volunter.
Komunikator dalam, hal ini ahli hipnotis berusaha menyamakan persepsi dengan subyek, bukan sebaliknya. Seorang ahli hipnotis harus terus berusaha melakukan latihan-latihan komunikasi agar proses komunikasi yangb berlangsung antara dia dengan subyek dapat berjalan dengan maksimal atau biasa dikenal dengan hypnotisability atau kemampuan untuk memasuki hypnosis state.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam melakukan hipnosis, sebagaimana yang biasa terjadi dalam proses komunikasi pada umumnya.
1. Bersedia secara suka rela.
Kesediaan komunikan sangat penting dalam proses ini.
2. Memahami komunikasi.
Komunikan harus dapat memahami maksud dan tujuan dari komunikator.
3. Memiliki kemampuan fokus.
Komunikan tidak dalam kondisi stress berat, atau kehilangan kemampuan fokus, misal karena narkoba atau sedang mabuk karena minum minuman keras.

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale berdasakan penelitian yang dilakukan 1983 di Amerika Serikat telah membuat skala tentang komunikas atau subyek mulai dari yang sulit sampai yang memudah untuk menerima sugesti sbb:
a. Sulit > 5 %
b. Moderat > 85 %
c. Mudah > 10 %
Sumber : www.YanNurindra.com


Secara teknis dapat dijelaskan bahwa masuknya pesan-pesan kedalam diri seseorang akan lebih mudah dilakukan apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan hipnosis. Dalam keadaan demikian, critical area yang sering menghalangi maksuknya pesan-pesan dan informasi kepada komunikan dalam keadaan menyempit. Artinya pesan-pesan itu dengan mudah masuk kedalam pikiran subyek terutama ke alam bawah sadar (sub-conscious)
Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut/


CONSCIUOS

Pesan

Critical Area



SUB-CONSCIOUS


C. Komunikasi
Membahas komunikasi dalam hubungannya dengan hipnosis merujuk kepada Rogger (1966 : 102), comunication is a proccess in which participant and share information with an another to reach a mutual understanding. Pada dasarnya proses komunikasi memang harus melibatkan seluruh panca indera untuk menyamakan persepsi antara komunikator dengan komunikan yang menjadi sasaran, dengan menambahkan sugesti di dalam pesan-pesan itu.
Bahkan Oslon & Zannu ( 1993 :35 ) menyatakan, salah bentuk komunikasi yang baik adalah persuasi. Persuasi di prediksi sebagai perubahan sikap akibat paparaan informasi dari orang lain. Sikap pada dasarnya adalah tindakan kita terhadap sesuatu. Sikap seorang komunikator terhadap komunikan sangat berpengaruh besar terhadap diterima atau tidak diterimanya pesan-pesan yang disampaikan kepada seseorang. Jika dalam berkomunikasi, pihak penerima pesan tidak menyukai orang yang memberikan pesan, sangat besar kemungkinannya bahwa pesan itu tidak sampai kepada si penerima pesan. Contoh yang jelas dalam kasus ini, adalah pada saat seorang calon angota legislatif/caleg sedang berkampanye. Apa bila para konstituen sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap calon anggota legislatif tersebut, besar kemungkinan mereka tidak akan mememilih caleg di maksud. Contoh yang paling dekat dalam kehidupan akademis dapat dilihat antara dosen dengan para mahasiswanya. Apabila seorang mahasiswa sudah mempunyai pandangan yang buruk terhadap dosen yang bersangkutan dengan variabel-variabel tertentu, misalnya tidak menguasai materi kuliah dengan baik atau tidak kompeten, bicaranya terlalu cepat, tidak care dalam arti tidak menaruh perhatian kepada para mahasiswa apakah mereka mendengarkan kuliah atau tidak dan tidak membangun komunikasi yang baik, besar kemungkinan mahasiswa itu mendapat nilai rendah dalam ujian akhir.
Begitupun sebaliknya, jika sang dosen sudah mempunyai pola pikir (mind-set) buruk terhadap mahasiswanya dengan variabel-variabel tertentu seperti malas, tukang menyontek, tidak disiplin dan bahkan secara ekstrem mengatakan bodoh, sangat besar kemungkinan cara mengajar sang dosen disesuaikan dengan mind set yang ada di kepalanya. Dan sudah dapat diduga pula mahasiswa bersangkutan memperoleh nilai paling rendah pada ujian akhir. Apa yang penulis kemukakan diatas memang belum dilakukan penelitan secara empiris, namun baru berdasarkan observasi dan sifatnya masih hipotetis.
D. Hipno-komunikasi
Hipno-komunikasi sejatinya gabungan dari dua kata yaitu hipnosis dan komunikasi. Tentang hypnosis dan komunikasi sudah penulis jelaskan pada bagian-bagian awal dari tulisan ini. Dengan demikian hipno-komunikasi dapat dijelaskan dengan pengertian melakukan komunikasi dengan basis hipnosis. Tujuan akhir dari hipno-komunikasi adalalah mengubah mind set, menyusun goal setting dan mengubah seseorang. seperti apa yang dikehendaki oleh komunikator maupun komunikan itu sendiri.
Elemen yang penting dari hipnosis adalah apa yang disebut dengan Neuro Linguistic Programing/NLP. Ada berbagai definisi tentang NLP antara lain,
NLP adalah strategi pembelajaran yang ditingkatkan untuk deteksi dan utilisi pola-pola di dalam dunia (John Grinder)
NLP adalah apa saja yang bisa berfungsi dan memberi hasil (Robert Dihl)
Yang paling tepat dalam konteks tulisan ini adalah definisi yang menyebutkan bahwa NLP adalah studi sistematik tentang komunikasi manusia (Alex von Ohde). Phillip Hayes & Jenny Rogers (2006 : 31)
Istilah aktual Neuro-Linguistic Programing mengacu pada tiga bidang studi utama.
1. Neurology: tentang otak dan bagaimana kita berpikir.
2. Linguistic: tentang bagaimana kita menggunakan bahasa dan bagaimana dampaknya terhadap kita.
3. Programming : tentang bagaimana kita mnengurutkan tindakan-tindakan.
Hipno-komunikasi hampir sering dilakukan dengan memberi muatan-muatan NLP didalamnya. Bila di ibaratkan dengan senjata, hipnosis adalah senjatanya sedangkan NLP adalah pelurunya.
NLP berasal dari California, Amerika Serikat dan muncul pada tahun 1970. Penggagas pertamanya adalah pakar matematik Richard Bandler dan profesor linguistik John Grinder. Pada mulanya, mereka mengamati communication skill yang digunakan sekelompok terapis terpilih yang sangat sukses. Mereka ingin tahu dan menetapkan secara spesifik bagaimana para terapis itu mencapai sukses membantu klien untuk melakukan perubahan positif didalam hidup. Keduanya, bersama sekelompok kolega dan mahasiswa, mencoba membentuk model eksplisit tentang bagaimana bagusnya seorang komunikator bisa mencapai hasil. Roggers (2006 : 34).
Berkomunikasi dengan basis hipnosis/NLP berpedoman bahwa “realita” bukanlah kontruksi yang obyektif. Realitas adalah sesuatu yang dikontruksi manusia secara individual dari persepsi dan pemikiran mereka sendiri.
Hipno-komunikasi didalam upaya untuk memngkomunikasikan ide-ide dan gagasan menjadi lebih tepat sasaran serta berupaya mengkonstruksikan manusia menjadi lebih bermakna, baru sebatas hipotetis. Masih diperlukan langkah-langkah lebih lanjut yang bersifat ilmiah.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip Albert Einstein sebagai berikut:
“Berapa banyak orang terperangkap di dalam kebiasaan sehari-hari; sebagian mati rasa, sebagian ketakutan, sebagian tak bisa berbeda. Untuk bisa mendapatkan kehidupan lebih baik, kita harus terus memilih bagaimana kita hidup”


Daftar Pustaka:.
Atkinson, 1999,Pengantar Psikologi, Interdisain, Jakarta.
Rogers, Jenny , 2006, NLP, Quantum Change, Baca!, Yogyakarta.
Sandjaja, Sasa Djuarsa, 1999, Pengantar Ilmu Komunikasi, UT, Jakarta.
Keraf, Gorys, 2009, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Goleman, Daniel, 1999, Emotional Intellegence, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta
Soehardjo, Djoenarsih, 2005, Publik Speaking, UT, Jakarta.

Website:m: http://www.YanNurindra.com
http://www.quantumchange.com

"STRATEGI MANAJEMEN HUMAS BADAN NARKOTIKA NASIONAL/BNN DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA "

Oleh Bambang Sudiono
sdnbambang@yahoo.com


Latar Belakang Masalah
Media massa saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi sebagian orang sebagai sumber informasi utama untuk mengetahui berbagai kejadian yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Media massa, baik cetak maupun elektronik, dianggap oleh kyalayak sebagai pihak yang paling netral atau objektif dalam menyikapi suatu peritiwa. Itulah sebabnya media massa acap kali mendapat kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat.
Media massa dilihat sebagai forum bertemunya pihak-pihak dengan pihak-pihak dengan kepemtingan, latar belakang dan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak berusaha untuk menonjolkan basis penafsiran, klaim atau argumentasi masing-masing berkaitan dengan persoalan yang diberitakan sebagai suatu wacana.
Dennis McQuail dalam buku Teori Komunikasi Massa menegaskan bahwa”media telah menjadi sumber yang dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif, (McQuail, 1996:3)
Disadari ataupun tidak, berita yang disajikan oleh media massa dampak berdampak memberi pengetahuan baru, informasi menghibur khalayak. Selain itu juga dapat mengubah opini dan sikap masyarakat terhadap suatu isu tententu.

Media massa baik cetak maupun elektronik, meyiarkan berita yang berisi informasi penting untuk khalayak. Lewat berita-tersebut khalayak dapat menyaksikan kejadian di dunia.
Mengingat begitu pentingnya peran media masa, maka Badan Narkotika Nasional, melakukan strategik manajemen humas untuk menyebarluaskan dan dan melakukan sosialisasi terhadap kebijaksanaan yg ditempuhnya terutama yang menyangkut visi dari BNN yaitu, “Terwujudnya masayarakat Indonesia yang bebas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya (narkoba) 2015”.
Strategik manajemen untuk humas, seperti yang di ungkapakan oleh Rhenald Kasali meliputi tiga hal, yaitu tahap stake holders, tahap publik dan tahap isu. (Kasali, 1999:47).
Tahap Stakeholder, dimaksudkan bahwa sebuah institusi mempunyai hubungan dengan publiknya bilamana perilaku instusi tersebut mempunyai pengaruh tehadap stakehokders atau sebaliknya.
Tahap Publik, terbentuk ketika institusi menyadari adanya problem terentu. Pendapat ini berdasarkan penelitian Grung dan Hunt, seperti di kutip oleh Renald k\Kasali yang menyimpulkan bahwa publik muncul sebagai akibat adanya problem dan bukan sebaliknya. (Kasali, 1999:49)
Tahap Isu, publik yang muncul sebagai konsekuensi dari adanya problem selalu mengorganisasi dan mencipotakan “:isu”. Yang dimaksud “isu” disini bukanlah isu kabar burung atau kabar tak resmi yang berkonotasi negatif (rumor) melainkan suatu tema yang dipesoalkan. Mulanya pokok persoalan demikan luas dan mempunyai banyak pokok, tetapi kemudian akan terjadi krsitaliasi sehingga pokoknya menjadi jelas, karena pihak-pihak terkait saling melakukan diskusi.
Badan Narkotika Nasonal (BNN), sebuah lembaga yang didirikan oleh pemerintah, salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Permasalahan narkoba cenderung terus meningkat kasusnya, mulai anak-anak usia sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ini adalah masalah yang serius karena anak-anak, remaja dan pemuda adalah masa depan bangsa. Mengingat begitu pentingnya masalah ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tereebut, Pemerintah yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Abdurahaman Wahid, membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999.
Kemudian pada tahun 2002, BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak lagi memadai untuk menghadapi ancaman bahaya narkotika yang semakinj serius. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Koodinasi Narkotika Nasioanl, BKKN diganti menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemeritah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, dan diketuai oleh Kapolri.
Mengingat begitu pentingnya tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh BNN, penulis ingin mengetahui startegi apa yang dilakukan oleh BNN dalam penanggulangan masalah narkotika.

Pembatasan Masalah
Sesuai dengan judul proposal penelitian yaitu “Strategi Manajemen Humas BNN Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika”, penelitian ini terbatas pada kegiatan Humas BNN dalam penanggulangan penyalahhgunan narkotika.

Perumusan Masalah
Dengan menyoroti strategi humas di BNN, perumusan masalahnya adalah” Bagaimana Strategi Manajemen Humas BNN Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika?”.

Tujuan Penelitian
Penilitan ini bertujuan untuk mengetahui strategi manajemen Humas BNN dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang bermanafaat bagi penelitan sejenis dan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bidang humas.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan kritik yang membangun terhadap fungsi-fungsi humas, khususnya tempat dimana penulis melakukan penelitian yaitu BNN.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kantor Badan Narkotika Nasional/BNN khususnya Bagian Humas BNN, Jalan MT Haryono No 11 Cawang, Jakarta Timur dengan nara sumber Kepala Bagian Humas BNN Bapak Drs. Sumirat Dwiyanto, Msi.
Adapun waktu penelitian selama 3 bulan dari bulan April 2011 sampai dengan Juni 2011.


A. Tinjauan Literatur
Guna menjawab rumusan pokok penelitian, penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan dengan rumusan pokok penelitian yaitu Stategi Manajemen Humas Badan Narkotika Nasional Dalam Sosialisasi Penanggulangan Narkotika, dengan sistematika sebagai berikut:
1. Komunikasi
2. Manajemen Hubungan Masyarakat
3. Penyalahgunaan Narkotika

1. Komunikasi
Manusia merupakan makhluk sosial, dalam arti mereka harus selalu berhubungan antara satu dengan yang lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri atau menyendiri atau terlepas dari pergaulan masyarakat. Jalinan hubungan antar manusia ini dikenal sebagai interaksi sosial.
Proses interaksi sosial sosial terjadi melalui sebuah proses yang disebut komunikasi. Melalui komunikasi inilah dapat terjadi pembentukan kelompok dalam masyarakat. Dengan komunikasi, manusia dapat menyampaikan perasaan, pikiran, pendapat, sikap dan informasi kepada manusia yang lainnya secara timbal balik, sehingga terbentuk pengalaman yang sama.
Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Pengertian sama disini adalah sama makna, yaitu “Dua orang mengadakan percakapan, maka komunikasi akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan”. (Oyong 2005:9).
Pengertian komunikasi yang dipaparkan diatas adalah pengertian yang mendasar. Sehingga komunikasi memang harus dilakukan minimal dengan dua orang. Bahkan, “ Dalam suatu proses komunikasi haruslah terdapat unsu-unsur kesamaan makna agar terjadi suatu pertukaran pikiran dan pemngertian antara komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan)”. (Tommy, 5:2009).
Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilakukan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma klasik yang dikemukakan oleh Harold Laswell dalam bukunya, The Structure Of Communication in Society, Laswell merumuskan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut : Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect? Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. (Oyong, 10:2005 )
Memang manusia memerlukan komunikasi untuk berinteraksi dengan sesamanya, karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berdiri sendiri dan akan selalu bergantung dengan manusia lainnya. Kebutuhan manusia memang tidak sedikit, dan sangat perlu untuk memahami bagaimana caranya untuk mendapatkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Harold Laswell, seperti di kutipp Sasa Djuarsa menyebutkan ada tiga hal yang menyebabkan mengapa manusia perlu berkomunikasi yaitu, hasrat untk mengontrol lingkungannya, upaya manusia untuk dapat beradaptsi dengan lingungannya dan upaya untuk transformasi warisan sosialnya. ( Sasa, 1994: 5 )
Sedangkan fungsi komunikasi, Sasa Djuarsa merumuskan bahwa melalui komunikasi seseorang bisa menyampaikan apa yang ada di dalam benak pikirannya, bisa membuat dirinya merasa tidak terisolasi, dapat mengajarkan apa yang diketahuinya kepada orang lain, dapat mengenali dirinya sendiri, dapat menghibur orang lain, dapat mengurangi rasa tegang terhadap persoalan yang dihadapi, dapat mengisi waktu luang, dapat menambah pengetahuan, dapat membujuk dan atau memaksa orang lain bersikap. ( Sasa, 1994:8 ).
Mengenai fungsi komunikasi diatas inilah yang bisa dipaparkan lebih mendalam. Dilihat dari fungsi tersebut, maka terlihat bahwa melalui komunikasi kita bisa melakukan apa saja. Kita bisa menambah pengetahuan, bisa membuat orang lain melakukan hal yang sesuai dengan keinginan kita, menjaga perasaan orang lain, memperoleh hiburan, bertukar pikiran dengan sesama ataupun dengan orang lain yang lebih jauh tingkat pengetahuannya serta menemukan solusi dari pikiran ataupun masalah yang kita hadapi.
Pada dasarnya komunikasi merupakan proses dua arah. Komunikasi tidak hanya berupa memberitahukan atau mendengarkaan saja. Komunikasi harus mengandung pembagian ide atau pendapat. Komunikasi selalu mengandung unsur pengirim (komunikator) dan unsur pesan (message) yang bertujuan mengadakan persamaan dalam mengartikan pesan, serta penerima pesan (komunikan).
Komunikasi juga memiliki karakteristik yang khas apabila tengah dilaksanakan. Karakteristik itu yang menjadikan komunikasi sebagai paradigma ilmu lainnya. Karakterstik itu meliputi, komunikasi sebagai suatu proses, komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan, komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat, komunikasi bersifat simbolis, komunikasi bersifat transaksional dan komunikasi menembus faktor ruang dan dan waktu. ( Marhaeni, 2009:33-34 )
Komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Melibatkan banyak faktor dan unsur, antara lain dapat mencakup para pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi. Kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang, sepenuhnya berada dalam kondisi mental psikologis yang tekendalikan, bukan dalam keadaan mimpi untuk mencapai hasil yang ingin dicapai. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat.
Komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan. Komunikasi juga bisa bersifat simbolis. Dalam kaitan ini, komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan lambang-lambang, misalnya bahasa. Komunikasi bersifat transaksional yang menuntut dua tindakan yaitu memberi dan menerima. Tentunya hal ini dilakukan dengan seimbang dan proporsional oleh pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Komunikasi juga dapat menembus faktor ruang dan waktu, yaitu para peserta atau pelaku komunikasi tidak harus hadir pada waktu atau tempat yang sama.
Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, faksimili dan lain-lain, kedua faktor tersbut bukan menjadi persoalan ataupun hambatan dalam berkomunikasi, justru komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.

2. Hubungan Masyarakat
Hubungan Masyarajat (Humas) atau biasa disebut juga dengan Public Relation (PR) telah banyak dikenal di kalangan masyarakat. Bahkan Humas memegang peranan serta posisi yang penting di dalam sebuah perusahan atau organisasi, untuk mempergtahankan citra dan nama baik perusahaan atau organisasi tersebut.
The Internastional Public Relations Association mendefinisikan humas, “sebagai fungsi manajemen yang berkelanjutan dan terarah lewat mana organisasi dan lembaga umum maupun pribadi, berusaha memenangkan dan merpertahankan pengertian, simpati, dan dukungan orang-orang yang mereka inginkan dengan menilai pendapat umum di sekitar mereka sendiri. Pendapat umum itu kemudian dihubungkan sejauh mungkin dengan karsa dan tingkah lakunya, guna mencapai kerja sama yang lebih produktif dan lebih efisien untuk memenuhi kepentingan mereka bersama, dengan suatu informasi yang direncanakan dan disebarluaskan”. (Sam, 1998:4-5)
Sementara Frank Jefkins mendefinisikan humas adalah semua bentuk komunikasi yang terencana, baik itu kedalam maupun keluar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian. (Jefkin, 2003:9)
Berdasarkan definisi tersebut, dengan demikian humas merupakan fungsi manajemen yang meiliki tugas dalam menciptakan dan membina hubungan yang baik antara organisasi dengan publiknya. Disamping itu, humas juga memiliki peran dalam mencari simpati dan dukungan publik yang bertujuan untuk mencapai produktifitas serta efisiensi kerja guna memenuhi kepentingan bersama.
Humas harus dapat memberikan identitas pada organisasinya dengan tepat dan benar serta mampu mengkomunikasikan, sehingga publik menaruh kepercayaan dan mempunyai pengertian yang jelas dan benar terhadapa organisai tersebut. Dengan demikian, piha lain yang diberi pejelasan pun akan menerima dengan senang hati, serta merasa puas untuk membangun relasi yang baik dengan menggunakan produk ataupun jasanya.
Hubungan masyarakat adalah salah satu bagian dari lembaga baik profit maupun non profit. Fungsi utamanya yaitu menumbuhkan dan mengembangkan hubungan baik antara lembaga/organisasi dengan publiknya, intern maupun ekstern, dalam rangka menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi publik dalam upaya menciptakan opini publik yang menguntungkan lembaga/organisasi. Secara umum, sasaran kegiatan hubungan masyarakat, baik swasta maupun pemerintah adalah menciptakan opini publik yang menguntungkan perusahaan atau lembaga pemerintah yang bersangkutan.
Hubungan masyarakat memunyai fungsi timbal-balik, ke luar dan ke dalam. Ke luar ia harus mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran masyarakat yang positif terhadap segala tindakan dan kebijakan organisasi atau lembaga. Ke dalam ia berusaha mengenali, mengidentifikasi hal-hal yang dapat menimbulkan sikap dan gambaran yang negatif dalam masyarakat sebelum sesuatu tindakan atau kebijakan itu dijalankan. Oleh sebab itu peran humas memang sangat dibutuhkan oleh sebuah perusahaan/lembaga demi menciptakan citra positif dan keuntungan opini publik yang didapatkan.
Keberadaan humas pada lembaga/organisasi harus memiliki tujuan dalam upayanya mempertahankan citra positif atau mengubah citra negatif menjadi citra positif, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga tersebut karena perilaku individu-individu di dalam lembaga /organisasi merupakan pencerminan dari perilaku lembaga/organisasi tersebut.
F. Rachmadi merumuskan tugas sehari-hari dari hubungan masyarakat meliputi, “Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi/pesan baik secara lisan, tertulis, atau melalui gambar (visual) kepada publik, sehingga publik mempunyai pengertian yang benar tentang hal ikhwal lembaga /organisasi, segenap tujuan serta kegiatan yang dilakukan. Memonitor, merekam dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat umum/masyarakat. Mempelajari dan melakukan analisis reaksi publik terhadap kebijakan lembaga/organisasi. Menyelenggarakan hubungan yang baik dengan masyarakat dan media massa untuk memperoleh public favour, public opinion, dan perubahan sikap” .(Rachmadi, 1996:23)
Peranan humas dalam sebuah lembaga/organisasi merupakan tombak yang diandalkan untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan oleh publik eksternal. Namun publik eksternal juga mempunyai reaksi yang akan timbul apabila mereka menemukan suatu kepuasan atau ketidak puasan atas kebaijakan yang diambil oleh lembaga/organisasi. Untuk itu humas dituntut untuk bisa mengatur segala macam tindakan ataupun segala kebijakan yang diambil oleh lembaga/organisasi dan menyampaikannya secara jelas kepada publik, baik secara lisan ataupun tulisan. Humas dalam melakukan kegiatannya harus disertai dengan kemampuan untuk pengorganisasian yang baik.
F.Rachmadi, mengutip Cutlip Center, menjelaskan tentang kegiatan Hubungan Masyarakat melalui proses sebagai berikut,” Penemuan Fakta (Fact Finding), Perencanaan (Planning), Komunikasi (Communication, dan Evaluasi (Evaluation. (F.Rachmadi, 1996:111-114)
Penemuan fakta dilakukan untuk mengetahui apakah situasi dan pendapat dalam masyarakat menunjang atau justru menghambat kegiatan lembaga/organisasi. Fakta yang dikunmpulkan adalah untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh publik eksternal atas lembaga demi memenuhi kebutuhan mereka.
Perencanaan merupakan bagian penting dalam usaha mendapatkan opini publik yang menguntungkan. Dalam tahap ini seorang petugas humas perlu mengetahui tujuan dan cita-cita organisasi serta harus mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai masalah politik, sosial, san ekonomi dengan masalah manajemen atau pemasaran apabila perusahaannya bergerak dalam bidang penjualan barang atau jasa.
Tahapan komunikasi adalah bagaimana cara mengkomunikasikan sesuatu dan apa yang dikomunikasikan. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai melaluimkegiatan humas. Kegiatan komunikasi dapat berbentuk tulisan, lisan, visual atau dengen menggunakan lambang-lambang tetentu.
Seetelah komunikasi dilaksanakan, maka sesuatu lembaga/organisasi tentu ingin mengetahui dampak atau perngruhnya terhadap publik. Hal ini dilakukan melalui evaluasi.
Dengan demikian, hubungan masyarakat merupakan suatu fungsi strategi dalam manajemen yang melakukan komunikasi untuk menimbulkan pemahaman dan penerimaan dari publik. Dalam proses penerimaan dari publik ini, humas perlu memperhatikan hubungan yang harmonis dengan publik eksternalnya, seperti terbuka, jujur, konsisten dan tidak mengsingkan diri. Untuk itu humas perlu melakukan komunikasi yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan strategi yakni mengamankan arah dan tujuan lembaga/organaisasi menuju sasarannya.

A. Public Relations sebagai Fungsi Manajemen
Humas sebagai fungsi manajemen modern, secara struktural merupakan bagian integral dalam suatu intsansi atau perusahaan. Ini artinya Humas bukan fungsi terpisah dari sebuah kelembagaan suatu instansi atau perusahaam, melainkan fungs Humas bersifat melekat pada manejemen perusahaan atau instansi, yaitu bagaimana humas dapat menyeneenggarakan komunikasi dua arah antara perusahaan atau instansi yang diwakilikinya dengan publiknya.
Humas erat kaitannya dengan citra, karena peranan humas itu sendiri dalam suatu lembaga yaitu meningkatkan citra positif perusahaan. Cutlip (2005:389) merumuskannya dengan,”Menginformasikan konstituen tentang aktifitas yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Mengadakan kerja sama aktif dalam program pemerintah, serta kepatuhan program dengan yang berkaitan dengan peraturan. Memupuk dukungan warga negara bagi kebijakan dan program yang dibuat”.

B. Strategi Humas
Dalam tahapan kerja Humas, maka salah satu fungsi Humas dalam suatu organisaisi manajemen adalah membuat suatu strategi. Istilah strategi menajamen atau serng juga disebut rencana strategi atau rencana jangka panjang. Suatu rencana strategis perusahaan atau lembaga menetapkan garis-garais besar tindakan strategis yang akan diambil dalam kurun waktu tertentu kedepan (Soemirat 2002: 90). Sedangkan John P.Simanjuntak mengartikan strategi sebagai suatu kegiatan yang dilakukan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ada atau aksi dalam organsasi untuk mencapai performance terbaiknya (Simanjuntak 1998 : 75)
Strategi Humas tersebut bukan hanya sebagai rencana kedepan saja, melainkan harus dapat dilakukan pelaksanaannya dari kegiatan humas tersebut. Hal itu dilakukan untuk dapat mengawasi apakah rencana strategis dari suatu lembaga tersebut sudah terlaksana dengan baik atau belum. Dengan demikian para praktisi humas dapat mengeavaluasi efektifitas pelaksanaan tugsnya untuk mmenuhi pencapaian tujuan dan mengurangi konflik yang munkin timbul di kemudian hari.

3. Penanggulangan Bahaya Narkotika
Penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Niomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Inteligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pembeantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan kenakalan remaja, penanggulangan subvrsif dan pengawasan orang asing. Berdasarkan
Berdasarkan Inpres tersebut, Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah tugas dan fungsinya adalah menanggulanagi bahaya narkotika. Bakolak Inpres adalah sebuah sebuah badan koordnasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Depaartemen Kesehatan, Depaartemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari APBN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.
Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesi tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia tidak siap untuk menghadapainya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba. (www.bnn.go.id)
Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang berangotakan 25 instansi terkait.
BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak memiliki prsonil atau alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasian dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri ) sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak lagi memadai untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin seius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi sbb:
1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam permusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba .
2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. (www.bnn.go.id)

Mulai tahun 2002 BNN mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerja bersama-sama dengan Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK).
Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2002 melalui Sidang Umum MPR-RI Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan menundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika , sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh Sekretaris Utama, Inspektur Utama dan 5 Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.


METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Michael H. Walizer, penelitian deskriptip merupakan suatu cara melakukan pengamatan dimana indikator-indikator adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan secara lisan maupun tulisan. (Michael, 2002 : 225).
Sementara Djalaludin Rakhmat menyatakan bahwa penelitian deskriptif ditujukan untuk, “Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi atau praktek yang berlaku. Membuat perbandingan atau evaluasi. Menentukan apa yang dilakukan orang dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang”. (Djalaludin, 1993 : 25)
Dalam penelitian kualitatif, semua data atau informasi yang diperoleh atau dikumpulkan tidak berbentuk angka, tetapi dalam bentuk kata, kalimat, pernyataan dan konsep yang kemudian dkembangkan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti dengan rinci, dibentuk dengan kata-kata, seerta gambaran holistik yang rumit. (Lexy, 2000 : 6)
Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian tentang ucapan, tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, organisasi atau masyarakat tetentu dalam suatu konteks setting tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistic. (Rosady, 2004 : 215 )
Namun demikian, guna mendukung pengembangan data penelitian deskriptif, maka digunakan maka digunakan metode kualitaif, sebagai pengembangan data. Ketika data dikembangkan, akan memungkinkan untuk melihat aspek-aspek kunci dari suatu kasus secara lebih jelas.
Pendekatan desktiptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggabarkan keadaan subjek atau objek penelitian, sehingga sifat deksriptif dalam penelitian ini dapat mengidentifikasikan fokus penelitian.

B. Subjek Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan Key Informan. Key Informana adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Ia harus mengetahui banyak tentang latar penelitian. Ia juga berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal
Pada penelitian ini yang menjadi Key Informan bagi penulis adalah Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional Bapak Drs. Sumirat Dwiyanto, Msi.

C. Unit Analisis
Dalam sebuah penelitian ilmiah, seorang peniliti dituntut untuk mampu memberikan analisis yang tajam dan tepat dalam penelitiannya, dimana salah satu kunci keberhasilannya adalah ketepan dalam menentukan unit analisis yang akan digunakan dalam memahami fenomena sosial yang terjadi.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba menjabarkan peran Bagian Humas Badan Narkotika Nasional dalam menanggulangi bahaya narkotika. Untuk itu peneliti mencoba untuk meniliti peran humas serta strategi apa yang digunakan dalam sosialisasi penanggulangan penyalah gunaan dan bahaya narkotika.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis melakukan penelitian di Kantor Badan Narkotika Nasional, Jalan MT Haryono No 11, Cawang, Jakarta Timur.

D. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dan obsevasi partisipatif guna memperoleh data primer. Sedangkan untuk memperoleh data sekunder diperoleh melalui dokumen dan literatur yang relevan.

E. Paradigma Penelitian
Paradigma seringkali disetarakan dengan perspektif atau sudut pandang, edeologi atau kerangka (frame). George Ritzer, seperti yang dikutip Agus Salim menjelskan bahwa paradgima adalah pandangan yanag mendasar dari ilmuwan mengenai hal yang menjadi pokok kajianyang semestinya harus dipelajari sebagai disiplin ilmu pengetahuan, hal yang harus ditanyakan dan bagaimana cara menjawabnya. (Agus, 2005 : 68 ).
Dengan demikian, paradigma mampu menggariskan hal yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang harus dikemukakan agar kita tidak keluar dari kaidah-kaidah yang ada dalam memperoleh jawaban.
Dalam menemukan hakikat realaitas atau ilmum pengetahuan yang sedang berkembang saat ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan. “Paradigma tersebut adalah Positivisme, Post Positivisme (yang kemudian dikenal sebagai Clasical Paradigm atau Conventionalism Paradigm ), Critical Theory (realisme) dan Constructivism”. (Agus, 2005: 5 )
Paradigma positivisme muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Pandangan ini menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Paradigma ini mengungkap kebenaran realitas yang ada.
Paradigma Post-Potivisme juga melihat realitas sebagai hal yang memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi mustahil bagi peneliti untuk melihat realitas secara benar. Karena itu aliran ini menegaskan arti penting dari hubungan interaktif antara peneliti dan objek yang diteliti, sepanjang dalam hubungan tersebut peneliti bisa bersifat netral.
Paradigma Kritis dalam menilai objek atau realitas kritis tidak dapat dilihat oleh pengamatan manusia. Panadangan ini menekankan konsep subjektifitas. Karena berkeyakinan bahwa nilai-nilai yang di anut oleh peneliti ikut serta dalam menentukan kebenaran akan sesuatu. Pendukung kritis bersikeras bahwa kenyataan harus diperiksa secara kritis agar dapat dipahami sesempurna mungkin.
Paradigma Konstruktivisme menyatakan, bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan yang didasarkan padapengalaman sosial, bersifat lokal spesifik, serta tergantung pada pihak yang melakukan.
Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan oleh penulis adalah paradigma konstruktivisme. Secara ontologi, paradigma ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pihak yang melakukananya. (Agus, 2005 : 71).
Paradigma konstruktivisme menyebut tingkatn kepercayaan (trustwhorthness) dan keaslian (authenticty) sebagai kriteria kebenaran. Kedua aspek tersebut mengacu pada berbagai konsep yang mengandung unsur-unsur kredibilitas, transferabilitas, konfirmibiltas, keaslian ontologis, kebenaran pendidikan, kemampuan dalam menstimuli dan bertindak dan kemampuan untuk memberdayakan msyarakat.

F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan kualitatif, yaitu penulis bertindak sebagai pengumpul data utama (key informan), karena penulislah yang akan memahami secara mendalam tentang subjek yang akan diteliti. Metode survey penelitian bersifat deskriptif, dengan pengumpulan data wawancara mendalam.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu melalui:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Maksud diadakannya wawancara menurut Lincoln dan Guba seperti dikutip Lexy Moleong, adalah mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. (Lexy, 2001 : 186)
Wawancara juga merupakan suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu. Tujuan wawancara pada metode kualitatif dipakai untuk memastikan dan mengecek informasi yang diperoleh bukan dengan teknik interrelasi personal, tetapi melalui face to face association. (Kartini, 1996 : 189).
Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan oleh penulis adalah wawancara tidak terstruktur (unstructured-interview) dengan dua macam teknik, yaitu wawancara terarah (direct) dan wawancara tak terarah (non-direct). Wawancara tak terarah dilakukan untuk memperoleh keterangan yang terincin dan mendalam mengenai pandangan subjek yaang diteliti, sehingga informan memperoleh kebebasan dan berkesempatan untuk mengeluarkan pikiran, pandangan dan perasaannya tanpa diatur ketat oleh penulis. Sedangakan wawancara terarah, diharapkan hasil yang diperoleh dibatasi pada hal-hal yang relevan dan diusahakan agar informan tidak melantur kemana-mana
2. Observasi
Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala dengan jalan pengamatan dan pencatatan. (Kartini, 1996 : 157).
Penulis melakukan observasi di kantor Badan Narkotika Nasional, khususnya di bagian hubungan masyarakat.
3.Riset Perpustakaan (Library Research)
Penulis mencari data atau informasi riset melalui membaca dan mempelajari jurnal ilmiah, buku-buku referensi, internet dan bahan-bahan yang berkaitan dengan peneelitian penulis. Ini dimaksudkan untuk menyempunakan data-data atau informasi yang dibutuhkan oleh penulis dalam penelitian ini.

G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai penumpulan data dalam periode tertetu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban belum memuaskan . maka peneliti akan melanjutkan peranyaan lagi, sampai tahap tetentu dan memperoleh data yang dianggap akurat.
Miles dan Huberman, seperti di kutip Lexy J.Moleong, mengemukakan bahwa akitifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudsah jenuh. Aktivitas dalam analisis data meliputi data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication. (Lexy, 2001 : 248).
a. Reduksi Data ( Data Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk pengumpulan data selanjutnya.
b. Penyajian Data ( Data Display)
Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaaykan data. Jika dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie card, pictogram dan sejenisnya, dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Namun yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
C Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing/Verificatoni)
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal masih berasifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang yang valid dan konsiten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan baha masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan berkembang setelah peneliti berada di lapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temua baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan bisa berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelaap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Data display yang dikemukakan pada gambar telah didukung oleh data-data yang mantap, maka dapat dijadikan kesimpulan yang kredibel. (Sugiyono, 2008 :247-253)



ANALISIS DAN PEMBAHASAN MATERI

Program kampanye anti narkotika yang dilancarkan oleh pemerintah, dapatlah dikatakan talah meraih “sukses”. Buktinya hampir seluruh orang Indonesia kini telah mengetahui bahwa narkotika itu jahat. Kalau kita mengajak seseorang memakai narkotika, ia pasti menolak, bahkan marah. Orang Indonesia sangat membenci narkotika. Hal ini terlihat dari banyaknya spanduk dan poster anti narkotika dimana-mana.
Namun menurut Kepala Bagian Humas BNN, Drs. Sumirat Dwiyanto, Msi, fakta dan data di sisi lain menunjukan jumlah pemakai nakotika secara signifikan terus meningkat. Dalam kurun waktu 38 tahun (1970 s/d 2008), jumlah pemakai terus naik 200 kali lipat atau 20.000 persen. Faktanya, sangat sedikit sekali bangsa Indonesia yang benar-benar paham tentang bahaya narkotika. Ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh bangsa Indonesia berperang melawan narkotika, maka yang terbayang dalam pikiran kita adalah berperang melawan para pengedar narkotika. Untuk itu seluk beluk narkotika harus dimiliki oleh seluruh rakyat bangsa ini agar mereka sadar mengetahui secara jelas dan oleh sebab itu dapat ikut berperang dan menang melawan narkotika.
Menurut Kabag Humas BNN Drs. Sumirat Dwiyanto, Msi yang mengutip buku Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunan Narkotika Bagi Lembaga/Instansi, terbitan Direktorat Advokasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (2010), fakta penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun.

A. BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
1. Fakta Penyalahgunaan Narkotika
Menurut data yang diperoleh BNN, dalam tahun 2001 s/d 2006 tercatat jumlah narkotika meningkat dari 3.617 kasus menjkadi 17.355 kasus dengan kenaikan rata-rata 42, 4 persen pertahun. Dari kasus-kasus tersebut, tercatat bahwa jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang pada tahun 2001, sedangkan pada tahun 2006 menjadi 31.635 orang atau meningkat rata-rata 49,5 persen per tahun. Bahkan, apabila dihitung sejak tahun 1970-an hingga tahun 2008 atau selama 38 tahun sejak narkotika menjadi candu di Indionesia, jumlah penggunanya telah meningkat sebanyak 200 kali lipat lebih atau 20.000 persen.
2. .Pemakai Semakin Variatif.
Jika dulu pemakai atau pengguna narkotika identik dengan para pemuda dan pemudi berandalan yang berlatar belakang keluarga “broken home” , sekarang pengguna narkotika lebih bervariasi. Bukan hanya pemuda dan pemudi, ada juga lansia, anak-anak, ibu rumah tangga, bahkan ada juga eksekutif, pejabat, aparat pemerintah, tokoh masyarakat, polisi, politisi, pengangguran, ahli hukum, dokter, pemuka agama, aktris dan sebagainya.
3. Daerah Penyebaran Semakin Meluas
Dulu pemakai narkotika hanya ada di kota-kota besar. Sekarang pelakunya meluas ke kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa-desa, termasuk desa-desa yang berada di luar Pulau Jawa. Tidak wilayah yang yang bebas narkotika di Indonesia.
4. Keterlibatan Indonesiaa Meningkat
Dalam perdagangan narkotika di dunia, dulu Indonesia hanya menjadi tempat singgah sementara (transit) narkotika dari segitiga emas (Birma, Kamboja, Thailand) yang akan dibawa ke Eropa, Amerika, Australia atau Jepang. Sekarang Indonesia sudah meningkat menjadi daerah pemasaran. Artinya, pedagang narkotika sengaja datang ke Indonesia untuk berjualan narkotika dan pembelinya adalah orang Indonesia.
Peran Indonmesia sekarang bahkan telah menjadi daerah pembuat (produsen). Belakangan narkotika yang dibuat di Indonsia kemudian di ekspor ke luar negeri. Indonesia telah menjadi pasar, priodusen dan akhirnya eksportir narkotika.
5. Penyakit yang Menyertainya Semakin Berbahaya
Meningkatnya jumlah pemakai narkotika , terutama yang menggunakan jarum suntik, telah menambah jumlah penderita penyakit menular seksual, seprti HIV/AIDS, hepatitis B, hepatitis C, sifilis dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian lembaga-lembaga penanggulangan masalah narkotika, 70 persen pemakai narkotika yang menggunakan jarum suntik di Jakarta telah tertular HIV/AIDS. Penyakit itu awalnya menular diantara sesama pemakai narkotika, namunh akhirnya dapat menular kepada keluarganya dan masyarakat luas.
6. Jenis dan Kualitas Narkotika Meningkat
Dulu kebanyakan pemakai narkotika hanya mengonsumsi ganja, psikotropika, atau paling tinggi m morfin. Sekarang jenis narkotika sudah bertambah banyak seperti ekstasi, shabu, kokain, heroin (putaw). Kini bahkan ada heroin generasi baru dengan daya adiksi yang lebih kuat. Reaksinya lebih cepat serta lebih berat. Dengan demikian dampak ikutan yang ditimbulkannya semakin berbahaya.
7. Sindikat Narkotika Semakin Piawai
Keterampilan tenaga pemasar dan pengedar narkotika semakin hebat. Sindikat perdagangan narkotika adalah tenaga-tenaga manajemen dan pemasaran profesional. Mereka kini sudah menggunakan fasilitas teknologi modern,seperti telepon seluler, internet dan lain-lain.
Untuk konsumen tertentu, pemasaran dilakukan dengan cara memaksa, menipu, sampai bujuk rayu. Sindikat narkotika terdiri dari penjahat sampai ke pejabat dan aparat, dari pedagang asongan sampi oknum berpenampilan dermawan. Bahkan ada yang tampil sebagai pengurus lembaga sosial yang berpura-puta ikut memerangi penyalahgunaan narkotika.
8. Dampak Negatifnya Semakin Parah dan Luas
Penyalahgunaan narkotika tidak hanya berdampak pada merosotnya kualitas manusia, tetapi jugameningkatnya jumlah dan kualitas kriminalitas. Jenis kejahatan bukan hanya kejahatan besar dan sadis, penipuan, penyiksaan, pembunuhan, sampai korupsi, kolusi, nepotisme, bahkan pengaturan personil pejabat.
Dunia narkotika sangat erat dengan pelacuran, korupsi, manipulasi serta kriminalitas. Demi narkotika, tidak jarang seorang anak tega membunuh saudara, ayah, ibu, kakek, atau neneknya. Narkotika dapat mengubah manusia menjadi kejam, tidak berperikemanusiaan, berbudi pekerti rendah. berperangai dan berakhlak lebih buruk dari binatang.



B. PERAN BAGIAN HUMAS BNN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran Humas Badan Narkotika Nasioanal dalam sosialisasi penanggulangan bahaya Narkotika. Apakah peran yang dilakukan oleh Humas BNN sejalan dengan visi dan misi dari BNN sendiri yaitu,”Terwujudnya masyarakat Indonesia bebas penyelah gunaan dan peredaran narkotika, psikotropika dan bahan adikitif lainnya (narkoba) tahun 2015.
Dalam hal ini Humas BNN juga turut mengemban misi BNN yaitu, “melaksanakan pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabiltasi, hukum dan kerja sama di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya.
Humas BNN juga memiliki peran yang cukup strategis, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh BNN yaitu, tercapainya komitmen yang tinggi dari segenap komponen pemerintah dan masyarakat untuk memeangi narkoba.
Dalam hal ini, tanggung jawab Humas BNN tentu sesuai dengan tugas dan fungsi humas yaitu menciptakan identitas dan citra institusi yang positif, dan mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan bebagai pihak. (Rosady, 1999 : 21).
Humas BNN dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya menyebarkan berbagai informasi yang berkaitan dengan kegiatan BNN melalui berbagai bentuk media, baik media cetak, media luar ruang, maupun melalui multi media dan internet. Bagian Humas BNN juga kerap mengundang wartawan media apabila terjadi penangkapan terhadap pengguna narkotika, atau terungkapnya kasus-kasus narkotika yang melibatkan public figure, tokoh-tokoh yang dikenal secara luas oleh masyarakat.

1. Penyebaran Berita
Pesan-pesan yang disampaikan oleh Humas BNN adalah berita yang berkaitan dengan suatu persitiwa atau kejadian yang berkaitan dengan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Berita tersebut dibuat oleh petugas Humas yang meliput kejadian atau peristiwa tentang penanggulangan bahaya narkotika baik yang bersifat seremonial maupun yang non seremonial. Dalam hubungan ini petugas humas BNN bertindak sebagai jurnalis atau wartawan. Berita-berita tersebut kemudian mereka
kirimkan ke berbagai media, selain di up load ke situs internet BNN yaitu www.bnn.go.id. Menurut Kabag Humas BNN, para petugas selama ini telah mendapatkan pendidikan jurnalistik atau kehumasan guna meninkatkan kualitas berita yang mereka buat.

2. Siaran Pers (Press Release)
Humas BNN secara periodik juga mengundang mass media untuk mass media untuk jumpa pers, bila ada hal-hal mendesak yang harus segera diketahui oleh media agar dapat disebar luaskan kepada masyarakat. Dalam jumpa pers ini, biasanya para wartawan menanyakan berbagai hal yang sudah dilakukan oleh BNN.
Biasanya dalam jumpa pers seperti ini, pihak BNN bersama-sama dengan aparat kepolisian baru saja menangkap pelaku penyalahgunaan narkotika, lengkap dengan barang bukti yang ada.. Tidak jarang dalam acara jumpa pers ini dihadirkan juga para pelakunya. Tujuannya untuk membuat efek jera kepada masyarakat, bahwa perbuatan penyalahgunaan narkotika, tidak hanya berbahaya buat orang tapi juga buat dirinya senddiri

3. Galeri Foto
Galeri foto yang dimaksudkan disini adalah, pada waktu-waktu tertentu Humas BNN menyelanggarakan pameran foto yang menggambarkan bahayanya penyalahgunaan narkotika bagi masyarakat. Tempat pameran biasanya di lakukan di tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat, atau tempat yang sering dikunjungi masyarakat seperti di mal-mal.
Foto-foto yang dipamerkan biasanya hasil karya dari petugas humas BNN sendiri atau bekerja sama dengan media massa, terutama foto-foto yang mendapatkan penghargaan. Secara pro aktif, Humas BNN selalu ambil bagian dari setiap pameran foto apapun, dengan menampilkaan foto-foto tentang bahaya narkotika.

4. Multi Media
Pesan-pesan tentang bahaya narkotika juga dibuat melalui multi media yang bersifat audio visual. Pesan-pesan tersebutut kemudian disebarkan oleh Humas BNN ke berbagai stasiun televisi untuk di akses secara lebih luas oleh masyarakat. Pada waktu-waktu tertentu pesan audio visual tersebut juga ditayangkan kepada masyarakat saat pihak Humas BNN mengadakan penyuluhan di berbagai tempat.

5. Suara Masyarakat
Suara Masyarakat merupakan rubrik yang dibuat di situs BNN, dimana masyarakat dapat bertanya langsung kepada Humas BNN tentang hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan bahaya narkotika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya langsung di respon oleh Humas BNN dengan positif. Tidak jarang dari forum ini BNN mendapat informasi akurat untuk segera melakaukan tindakan-tindakan lebih lanjut, baik berupa pencegahan ataupun pemberantasan.
Dari Suara Masyarakat inilah, seringkali BNN, melalui humasnya melakukan melakukan operasi penyuluhan ke daderah-daerah yang diduga sebagai kantong-kantong penyalahgunaan narkotika.
Menurut Drs. Sumirat Dwiyanto, Msi, upaya penyuluhan memang kerap dilakukan BNN keberbagai daerah dengan bekerja sama dengan BNN daerah.

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Mengacu dari tugas dan fungsi Humas BNN, penulis mencoba membahas dan menganalis apakah tugas-tugas itu sudah sesuai dengan visi, misi dan tujuan yang ingin di capai oleh BNN.
Jika mengacu kepada teori Uses and Gratification (Herbet Blumer dan Elihu Katz 1974 :32 ), teori mengatakan bahwa pengguna memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam prose komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber yang paling baik di dalam usaha memenuhim kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Dalam hubungan ini Humas BNN dalam starteginya menggunakan teori Uses and Gratification untuk mencapai tujuannya. Ini dapat dilihat dengan beragamnya media yang digunakan guna mencapai tujuannya.
Menurut Kepala Bagian Humas BNN, berbagai upaya telah dilakukan oleh humas BNN untuk menyebar luaskan bebagai pesan dan informasi kepada masyarakat dari berbagai kalangan.

1. Penyebaran Berita
Frekuensi penyebaran berita tidak setiap hari di lakukan oleh humas BNN, dan sebagian besar berita itu bersifat seremonial tentang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan narkotika. Ini dapat berakibat pesan yang disampaikan tidak langsung dapat diterima oleh masyarakat. Humas BNN harus lebih aktif lagi menggali berita-berita yang dikemas lebih menarik hingga pembaca atau audience merasa ikut terlibat di dalamnya.
2.Press Release
Membuat jumpa pers dengan membuat pres realese saat ini menjadi hal yang tidak menarik di kalangan jurnalis. Press release masih di butuhkan apabila hal-hal tersebut bersifat teknis tentang masalah-masalah narkotika. Dengan demikian pres release merupakan pelengkap bahan berita, sedangkan bentuk berita yang sebenarnya biarkan dibuat oleh sang wartawan, sesuai dengan kebijaksanaan redaksional dari media yang bersangkutan baik media cetak atau elektronik. Mengundang wartawan untuk melakukan jumpa pers, lebih berkesan bagi wartawan, sebab mereka bisa menggali lebih dalam tentang masalah narkotika dari tangan pertama.

3. Galeri Foto
Kegiatan ini cukup menarik karena menyaksikan foto-foto tentang bahaya penyalahgunaan narkotika membuat mereka yang menyaksikan foto tersebut merasakan betapa pahitnya mereka yang menjadi pecandu narkotika. Yang dirugikan bukan hanya diri mereka sendiri, tapi orang-orang yang dekat dengan mereka seperti orang tua dan saudara-saudara mereka.

4. Multi media
Bila galeri foto menmapilkan gambar-gambar yang tidak bergerak, maka multi media menampilkan gambar-gambar yang bergerak dan bersifat audio visual. Efek yang timbul dari menyaksikan gambar-gambar yang bergerak, tentu lebih besar bila dibandingkan dengan menyaksikan gambar-gambar yang bergerak


5. Suara masyarakat:
Ini merupakan bentuk komunikasi interpersonal yang diwadahkan oleh kemajuan teknologi yaitu berupa internet. Dalam situs www.bnn.go.id, Humas BNN menyediakan suatu ruang yang disebut Suara Masyarakat. Meskipun melalui media watak komunikasi dasarnya tidak berubah yaitu,”Dua orang mengadakan percakapan, maka komunikasi akan berklangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan”. (Oyong, 2005 : 9 ).
Kesamaan makna disini adalah bagaimana menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika. Suara Masyarakat cukup efektif untuk mengubah perilaku masyarakat, sebab pihak Humas BNN seakan-akan bicara personal dengan pengguna internet.
Humas BNN bekerja sama dengan Deputi maupun Direktorat yang ada di lem baga itu secara serempak melalakukan penyebaran informasi atau pesan dalam bebagai bentuk seperti Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Lembaga/Instansi, brosur-brosur seperti brosur yang berjudu; Peran Pelajar Mencegah Penyalahgunaan Narkotika, Majalah Sinar, Buku Pelajar dan Bahaya Narkotika, serta brosur Pembedayaan Masyarakat dalam Penanggulaangan Narkoba.
Menurut hemat penulis, dengan penerbitan atau pembuatan multi media yang bisa saja dilakukan oleh Deputi yang berbeda namun tujuan akhirnya adalah bermuara kepada humas dalam penyebaran informasi. Perbedaan itu sesungguhnya hanya menyangkut soal fungsi dan tugas yang bersifat administratif. Kesemua pesan-pesan itu penyebarannya melalui humas. Ini adalah sebuah itu sendiri, sebab masalah narkotika memang menyangkut masalah yang sangat kompleks.


KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadapa peran yang di lakukan oleh Humas BNN Dalam Penanggulangan Bahaya Narkotika, ternyata BNN tidak sendiri dalam menangani tugas dan fungsinya. Hal ini mengingat masalah narkotika bersifat multi dimensional. Humas BNN tidak akan mampu melaksanakan tugasnya secara koordinasi Badan Narkotika Nasional. Dalam hubungan ini Humas BNN berperan sebagai penyebar informasi, meskipun Humas tidak memproduksi materi atau pun pesan yang disebar luaskan tersebut
Para deputi, sesuai dengan tugas dan fungsinya memproduksi sendiri pesan-pesan tentang bahaya narkotika, dan muaranya tetap kepada Humas BNN sesuai dengan fungsi dan tugas humas selama ini. Ini merupakan sinergi yang baik langsung maupun tidak langsung mendukung tugas-tugas Humas BNN.
Strategi yang dilakukan oleh Humas BNN dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, ibarat bermain bola, melakukan strategi “total football” dengan melibatkan seluruh unit yang ada di dalam BNN. Langkah ini, menurut hemat penulis, merupakan cara yang tepat dalam menyebar luaskan pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan narkotika.

3. Saran
Mengingat begitu kompleksnya penanggulangan bahaya narkotika, dan pesan-pesan yang di sampaikan harus gencar dengan frekuensi yang tinggi, maka peranan BNN Humas harus berada langsung di bawah Kepala BNN, setingkat Deputi.
Hal ini mengingat bahwa penanggulangan masalah nakotika, tidak hanya bersifat fisik semata-mata, tapi lebih bersifat persuasif dan preventif. Cara ini baru dapat berjalan efektif apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh BNN menyangkut penanggulangan bahaya narkotika, dilakukan dengan frekuensi yang tinggi dan disebarluaskan di berbagai media masa, baik dengan menggunakan teknologi tinggi maupun dengan komunikasi tradisional, mengingat penetrasi penyalahgunaan narkotika sudah merambah sampai ke desa-desa


DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Mulyana, Dedy, 2005, Ilmu Komunikasi, Bandung: Rosdakarya
Mulyana, Dedy, Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Rosdakarya
Uchyana, Oyong, 2005, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya
Djuarsa, Sasa, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Universitas Terbuka
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta
Sugiyono,2006, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R &D, Bandung: Alfabeta
Moleong, Lexy.J, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda
Burhan, Bungin,2001, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana
McQuail, Dennis, 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta : Erlangga
Kasali, Rhenald, Managemen Public Realations, 1994, Jakarta : Grafiti Pres
Jefkins, Frank, Dasar-dasar Humas dan Periklanan, 1995, Jakarta: Erlangga
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, 1999, Bandung : Rosdakarya
Cutlip, ScottM, Effetive Public Relations: Merancang dan Melaksanakan Kegiatan Kehumasan dengan Sukses, 2005, Jakarta : Indeks Gramedia: Jakarta
Sumirat, Soleh, Dasar-dasar Public Relations, 1998,Rosdakarya: Bandung
Ruslan, Rosady, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, 2004, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Simanjuntak, John P., Public Relations, 1998, Graha Ilmu : Yogyakarta
Suprapto, Tommy, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi, 2009, Yogyakarta
Rachmadi,F, Public Relations dalam Teori dan Praktek Aplikasi dalam Badan Usaha Swastaa dan Lembag Pemerintah, 1996, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Black, Sam, dkk, Ilmu Hubungan Masyarakat Praktis, 1988, Internusa: Jakarta
Fajar, Marhaeni, Imu Komunikasi Teori dan Praktek, 2009, Yogyakarta
Walizer, Michael H.,dkk., Metode Analisis dan Penelitian Mencari Hubungan, 2002, Erlangga : Jakarta
Undang-undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Website
http://www.bnn.go.id
http://wikipedia.org/wiki/Komunikasi_massa