Sabtu, 23 Februari 2008

MEMINTA MA'AF, MEMPERKOKOH INTEGRITAS KITA. MEMBERI MA'AF, MENGELUARKAN RACUN DARI TUBUH KITA

Suatu hari yang gerimis, saya berjumpa dengan rekan sekantor pada sa’at melayat teman yang meninggal dunia. Kami sama-sama sudah tidak lagi bekerja ditempat yang sama. Sudah lama saya tak berjumpa dengan dia, seorang perempuan separuh baya, yang jarang sekali saya melihatnya tersenyum. Saya tanya apa kabarnya. Dia menjawab, juga tanpa senyum, baik-baik saja. Kemudian dia bercerita, bahwa suaminya sudah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Saya minta ma’af, tidak melayat, karena tidak ada informasi mengenai hal itu. Selama saya bekerja bersama-sama dengan dia, saya amati, memang dia benar-benar jarang tersenyum. Jikapun ia tersenyum, hanya menarik ujung bibir sedikit, hanya dalam hitungan detik, kemudian kembali lagi seperti biasa. Wajah yang gelap, dingin dan masam. Pada saat sama-sama bekerja, saya ingat betul, sebagaimana layaknya karyawan, ia juga tidak luput dari kekeliruan ataupun kesalahan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mengakui kekeliruan ataupun kesalahan yang dilakukannya. Dia selalu mengelak, dan menimpakan kesalahan pada orang lain. Otomatis, menurut anggapan dia, dia tidak berbuat salah, dan karena tidak berbuat salah, dia tidak perlu minta ma’af, khususnya dalam konteks pekerjaan dikantor. Saya tidak tahu persis dalam kehidupan dirumahnya, apakah dia pernah meminta maaf kepada suami dan anak-anaknya, seandainya ia membuat kekeliruan sekecil apapun, juga dengan tetangga-tetanganya. Saya menangkap, ia mempunyai angapan keliru bahwa meminta ma’af adalah pekerjaan rendah dan hina. Dengan meminta ma’af, menurutnya, mengurangi kehebatan dirinya, dan menjadikan dirinya sangat rendah dan tidak hebat. Dengan meminta ma’af, berarti juga mengakui kesalahan-kesalahan dan itu sangat memalukan.

MEMINTA MA’AF MENGUBAH PANDANGAN ORANG TENTANG KITA
Dalam relasi hubungan antar manusia maupun, pandangan teman saya itu, keliru dan tidak tepat. Saya mempunyai pengalaman pribadi tentang ma’af dalam konteks pekerjaan. Suatu hari saya membuat kekeliruan dalam melaksanakan pekerjaan saya. Saya dipanggil oleh atasan saya. Sebelum memasuki ruangan, saya sudah siap untuk mengakui kekeliruan saya dan siap menanggung resiko apapun yang akan terjadi kepada saya, sekaligus saya ingin meminta ma’af atas kekeliruan tersebut. Setelah berbasa basi sebentar sang atasan kemudian menanyakan kepada saya tentang kekeliruan tsb. Pada awal pembicaraan, langsung saya minta ma’af atas kekeliruan tersebut dan saya siap diberikan sanksi atas kesalahan saya itu. Suatu keajaiban terjadi. Air muka atasan berubah menjadi teduh dan tersenyum. Begitu wajahnya berubah, langsung saya lanjutkan dengan argumentasi saya dan menjelaskan mengapa semua itu bisa terjadi. Sang tasan mengangguk-anggukan kepala. Akhir kata, pertemuan dengan atasan berakhir dengan happy ending dan saya mendapat tugas lagi yang lebih menantang. Tentu saja akan lain kejadiannya, bila pada awal pembicaraan saya memberikan alasan-alasan terlebih dulu mengapa kesalahan itu bisa terjadi, sampai lupa meminta ma’af atas kesalahan tersebut.

MEMINTA MA’AF MENGUATKAN KREDIBILTAS KITA

Saya beranggapan, dengan meminta ma’af justru menguatkan kredibilitas kita, menaikan harga diri kita dan mengakui keberadaan kita sebagaimana manusia, yang tidak luput dari kekeliruan. Tentu menjadi lain masalahnya, bila kita melakukan kekeliruan yang sama, dan kesalahan yang itu-itu juga. Jika demikian masalahnya, kita setara dengan keledai.
Oleh sebab itu, minta ma’aflah, jika memang kita benar-benar bersalah atau melakukan kekeliruan, sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan. Efeknya sungguh luar biasa.
Pada waktu Pak Harto sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina/ RSPP, Pak Habibie jauh-jauh datang dari Jerman ingin menjenguk. Tapi Pak Habibie tidak bisa menjenguk, beliau hanya diperbolehkan “parkir” dikamar sebelah tempat Pak Harto dirawat.
Menurut berita-beita di surat kabar dan televisi, keluarga Pak Harto tidak menemui Pak Habibie, karena sibuk menjaga Pak Harto. Akan tetapi ada kabar yang menyatakan, bahwa keluarga Pak Harto masih sakit hati dengan Pak Habibie, yang dianggapnya telah mengkhianati Pak Harto, sa’at Pak Harto lengser dari jabatan Presiden. Kasus Pak Habibie hampir mirip dengan yang dialami Pak Harmoko. Ada kesan keluarga Pak Harto masih memendam duri dan racun, serta tidak ingin mema’afkan Pak Habibie atau siapapun yang dianggap telah mengkhianati Pak Harto. Namun pada sa’at Pak Harto meninggal dunia, keluarga Cendana memasang iklan satu halaman penuh. Isinya disamping mengucapkan terima kasih, juga permohonan kepada seluruh khalayak untuk mema’afkan segala kesalahan Pak Harto, selagi beliau masih hidup.
Ada semacam kontradiksi disini. Disatu pihak keluarga Cendana tidak mau memaafkan orang-orang yang masih hidup, namun dipihak lain, mereka meminta orang-orang lain untuk mema’afkan Pak Harto yang sudah meninggal dunia. Bukankah akan lebih baik, pemberian ma’af diberikan kepada orang-orang yang masih hidup.

MEMBERI MA’AF DAPAT MENGUBAH ORANG LAIN
Sekarang kita coba flash back, pada abad ke 5 masehi atau awal-awal tahun hijriyah, sekitar 1500 tahun yang silam. Pada masa itu Nabi Muhammad SAW berada pada masa awal kenabian beliau. Nabi SAW berdakwah ke Thaif, seorang diri. Apa yang beliau dapatkan ? Beliau ditolak dan dihina. Tidak itu saja, warga Thaif melakukan tindak kekerasan dengan mempari batu hingga Nabi SAW berdarah darah. Pada sa’at itu turunlah malaikat Jibril As. Jibril bertanya kepada Nabi SAW, kira-kira dialognya begini; “Wahai Rasullullah SAW, mau diapain nih orang-orang Thaif ?. Saya bisa urug mereka dengan gunung dan membinasakah mereka semua”
Kemudian Nabi SAW menjawab “ Ga’ usahlah ya Jibril, mereka berbuat begitu, karena mereka belum mengetahui” .
Jawaban Nabi SAW sangat singkat namun penuh makna. Didalamnya terkandung permakluman dan pemberian ma’af kepada orang-orang Thaif.
Kisah lain meriwayatkan, bahwa hampir setiap hari ketika Nabi SAW ingin berangkat ke mesjid, ia selalu diludahi oleh seorang tua Yahudi, namun Nabi SAW tidak pernah marah dan selalu mema’afkan orang itu. Sampai pada suatu hari, Nabi SAW merasa, koq tidak ada yang meludahi saya. Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat. Kira-kira dialognya begni; “Orang yang sering meludahi saya kemana ya, koq saya dalam beberapa hari ini tidak diludahi lagi”? Para sahabat merasa heran dan menjawab,” Orang itu lagi sakit ya Rasullullah. Ngapain Rasulullah nanyain dia, kan Rasulullah sering dihina dan diludahin segala”, kata para sahabat. Yang paling geregetan tentu saja Umar bin Khatab, bekas “preman” yang jadi muslim yang ta’at. Rasulullah diam sejenak dan kemudian berkata,” Antar saya kesana, saya ingin menjenguknya” Tentu saja para sahabat bingung, namun mereka tidak bisa menolak keinginan Rasulullah SAW, orang yang selama ini sangat mereka hormati dan segani karena kejujuran, keberanian dan ketegasaannya. Singkat cerita, berangkatlah Nabi SAW bersama para sahabat ketempat orang Yahudi yang sedang sakit. Tentu saja Yahudi tua itu merasa kaget. Dia meminta ma’af atas perbuatanya serta kekurang ajaran-nya kepada Nabi SAW selama ini, sambil menangis tersedu-sedu. Nabi SAW mema’afkan orang itu, tanpa prasyarat apapun. Dahsyat dan benar-benar ikhlas. Pada sa’at itu juga, sang Yahudi menyatakan sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW dan tidak lama kemudian meninggal dunia.

NELSON MANDELA DAN XANANA GUSMAO
Kini kita kembali ke abad 21, abad milenium ini. Siapa yang tidak mengenal Nelson Mandela dan Xanana Gusmao. Nelson Mandela, sejak usia muda berada dalam penjara pemerintahan aparteid Afrika Selatan. Mandela penentang keras politik perbedaan warna kulit yang dilakukan oleh pemerintahan Afrika Selatan. Kita tidak pernah mengetahui wajah Mandela ketika masih muda. Kita hanya melihatnya lewat foto-foto yang disiarkan oleh televisi. Wajah pemuda berusia 25 tahunan. Kita mengenal Mandela setelah dia keluar dari penjara dengan rambut putih semua, berbeda dengan penampilan foto-fotonya ketika dia masih muda.
Apa yang terjadi setelah dia keluar dari penjara dan menjadi pemimpin negeri itu. Apakah dia membantai seluruh warga kulit puith disana. Sama sekali tidak. Nelson Mandela adalah negarawan sejati. Dia mema’afkan mereka semua yang telah memenjarakan dirinya puluhan tahun di penjara Afrika Selatan. Mandela melakukan rekonsiliasi dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan basa basi, tanpa menyimpan sedikitpun dendam dihatinya. Sekarang kita melihat Afrika Selatan relatif normal sebagai sebuah negara. Dan ketika Mandela mundur sebagai Presiden Afrika Selatan, semuanya berjalan lancar, tertib dan aman.
Negara tetangga kita, Timor Leste memiliki seorang pemimpin yang mengetahui betapa dahsyatnya kekuatan pemberian ma’af, yaitu Xanana Gusmao. Selama ini ia hidup dihutan, diburu, berpindah-pindah tempat, namun jiwa kepemimpinannya, seperti halnya Nelson Mandela, tak pernah pudar. Xanana, setelah kemerdekaan Timor Leste menjadi Presiden, kini sebagai Perdana Menteri. Mungkin terlalu dibesar-besarkan membandingkan Nelson Mandela dengan Xanana Gusmao, namun yang ingin saya katakan, bahwa kedua orang itu benar-benar seorang pemimpin karena mampu mengubur masa lalu dan berupaya menatap kedepan, antara lain dengan memberikan ma’af, baik kepada institusi maupun individu yang dianggapnya telah membuat dia menjadi menderita atau bagi pemimpin yang cengeng menyebutnya teraniaya. Mereka benar-benar pemimpin yang cerdas, visioner, pema’af, tidak minta dikasihani dan tidak cengeng. Mereka benar-benar pemimpin sejati.
Setelah menjadi presiden Timor Leste, Xanana kerap berkunjung ke Indonesia. Ucapan-ucapannya tentang Indonesia cukup menyejukan, bijaksana, tidak ada kesan dendam sedikitpun yang muncul. Orangnya sederhana, tidak sombong, rendah hati, wajahnya enak dilihat karena mengalami detoksifikasi, yaitu mengeluarkan racun-racun yang ada dalam tubuh dan pikiran melalui pemberian ma’af.

PEMBERIAN MA’AF MERUPAKAN PROSES DETOKSIFIKASI
Kembali kepada diri kita masing-masing, apakah pemberian ma’af penting dalam upaya pencapaian kita untuk hidup berkelimpahan rejeki, kemakmuran, kesehatan, berbagi kepada orang lain baik harta maupun ilmu dan kebahagiaan sejati dalam arti kebahagiaan secara materi/finansial maupun kebahagiaan spiritual dalam arti keberadaan diri kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Saya berani mengatakan, bahwa pemberiaan ma’af sangat penting dalam pencapaian kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Kita umpamakan, pemberian ma’af semacam anti oksidan, yang memusnahkan radikal bebas dari tubuh dan pikiran kita. Tubuh kita menjadi lebih segar dan sehat, pikiran kita menjadi jernih, karena segala racun tubuh berupa dendam kesumat, iri hati, dan dengki lenyap pada saat kita memberikan ma’af kepada siapapun yang telah menyakiti kita. Apakah sulit ? Jika kita menganggapnya sulit, maka pemberian ma’af menjadi sulit. Namun jika pemberian ma’af kita katakan sebagai suatu keharusan, kita katakan bisa dilakukan, maka pemberiaan ma’af pasti dapat dilakukan.
Agar lebih mudah memahaminya, kita misalkan pemberian ma’af sebagai proses detoksifikasi, proses pengeluaran racun dari dalam tubuh kita. Pada saat kita memberika ma’af, maka yang sebenarnya terjadi adalah kita tengah mengeluarkan racun-racun diri tubuh dan pikiran kita. Yang kemudian terjadi adalah rasa lapang, segar, menyenangkan, aura wajah kita muncul berbinar, imjinasi kita tentang keberhasilan dan kesuksesan jelas tergambar, dan pada akhirnya apa yang menjadi keinginan kita, hidup yang nyaman, berkualitas, makmur, sukses dalam arti yang luas, benar-benar terwujud.
Cobalah memberi ma’af untuk hal-hal yang kecil lebih dulu, kemudian secara perlahan dilanjutkan dengan memberi ma’af kepada hal-hal yang menurut Anda sulit dilakukan, padahal mudah dilakukan. Tetaplah bersyukur, berdo’a, silaturahmi dan lakukan afirmasi bahwa hidup ini benar-benar menyenangkan, dan tidak ada alasan untuk menanam racun dalam diri kita.

Salam Sukses,
(Bambang Sudiono)

1 komentar:

WURYANANO mengatakan...

Dear Pak Bambang Sudiono yang Pemaaf...

Tulisan yang bagus sekali buat mengingatkan pentingnya makna minta maaf dan memaafkan.

Salam kenal, dan semoga sukses selalu.

Wuryanano